Selasa, 03 November 2015

DIKTAT ’ULUMUL QUR’AN





                                                                                                                               
         DIKTAT ’ULUMUL QUR’AN

Suplemen Mata Kuliah Ulumul Qur’an
Untuk Mahasiswa STAIN Purwokerto



























Oleh:
Drs.H. Masyhud, M.Ag.










SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2015



KEMENTRIAN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PURWOKERTO
Alamat : Jl. Jend. A. Yani No. 40 A Telp (0280) 635624 Fax 636553
 

'Ulum al-Qur'an


I. Pengertian 'Ulum al-Qur'an dan Perkembngannya;
A. Makna 'Ulum al-Qur'an.
        'Ulum al-Qur'an berasal dari bahasa Arab 'Ulum dan al-Qur'an. 'Ulum adalah mashdar (infinitif) yang berbentuk jamak dari kata 'ilm, artinya ilmu-ilmu. Al-Qur'an juga mashdar dari qara-a yaqra-u qira-atan, yaitu bacaan. Ini sejalan dengan pengertian QS al-Qiyamah [75] :17-18:
إن علبنا جمعه و قرأنه, وإذاقرأنه فاتبع قرأنه "Sesungguhnya Kamilah yang mengumpulkannya dan Kami pula yang membacakannya. Jika kami telah membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu".
Pengertian  al-Qur'an selanjutnya dilihat dari  kata dasarnya.
1.     Menurut al-Zujaj (w. 311 H), lafal al-Qur'an adalah isim sifat dari kata al-qar'u, termasuk isim mahmuz yang artinya kumpul atau mengumpulkan. Al-Qur'an bermakna mengumpulkan, karena isinya mencakup kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para Rasul sebelum Nabi Muhammad saw. Juga dipandang sebagai kumpulan (himpunan) dari segala jenis ilmu. Seperti dalam QS al-Nahl [16] : 89 :
و أنزلنا عليك الكتاب تببا نا لكل شيئ                
"Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur'an untuk menjelaskan segala sesuatu "
2.     Menurut al-Farra (w. 207 H) al-Qur'an adalah kata jadian yang berpola fu'lan. Diadopsi dari kata qarinah bentuk jamakdari al-qarain, yang berarti sebagian ayat al-Qur'an membuktikan kebenaran sebagaian yang lain. Hamzah dalam lafal al-Qur'an adalah zaidah (tambahan), sedangkan nun adalah asli.
3.     Menurut Imam al-Syafi'I (w. 204 H) lafal al-Qur'an termasuk isim murtajal, bukan isim mustaq. Isim murtajal adalah isim yang begitu lahir sudah menjadi isim 'alam (nama benda). Al-Qur'an menurut al-Syafi'i adalah nama kitab Allah yang diturunan kepada Muhammad saw. Karena itu harus selalu menggunakan al (ال)   jadi القر أ ن.
4.     Abu Musa al-'Asy'ary ( w. 324 H) berpendapat lafal al-Qu'an berasal dari kata al-qornu – qarantuhu al-syaia; saya mengumpulkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Artinya al-Qur'an adalah kumpulan dari beberapa ayat- surat yang dijadikan satu. Hamzah dalam tersebut zaidah (tambahan), sedangkan nun asli.
5.     Al-Lihyani (w. 355 H) serta Jumhur ulama berpendapat bahwa al-Qur'an adalah mashdar dari qara'a yaqrau –qiratan. Menggunakan bentuk fu'lan, seperti lafal ghufran dan syukran. Qara'a artinya menghimpun dan memadukan sebagaian huruf-huruf, lafal-lafal serta kalimat-kalimat al-Qur'an, terkumpul dalam satu mushaf.
Kemudian pegertian al-Qur'an yang lebih populer, sesuai dengan kajian ini adalah abhwa al-Qur'an sebagai mashdar yang menggunkan makna isim maf'ul, yaitu al-maqru' (seuatau yang dibaca), kemudian dibakukan sebagai kitab Allah yang melemahkan (mu'jiz). Dengan demikan definisi 'ulum al-Qur'an adalah ilmu-ilmu yang membahas hal-hal yang erhubungan dengan al-Qur'an dari aspek-aspek turunnya, sistematikanya, pengumpulan dan penulisannya, bacaan-bacaannya, tafsirnya, kemu'jizatanna, nasikh-mansuhnya serta lain-lainnya.
B. Objek Kajiannya;
Obyek kajian 'ulum al-Qur'an adalah al-Qur'an itu sendiri. Karena objek kajian ini sangat luas maka segala hal yang berhubungan dengan studi al-Quran dari sudut mananpun masuk dalam objek kajian 'ulum al-Qur'an.
            Al-Qur'an disamping diakui sebagai kitab suci, juga dipandang sebagai sumber tertinggi ajaran Islam. Hal itu diakui sejak masa Nabi, para sahabat bahkan sampai sekarang. Al-Qur'an banyak memberi motivasi dalam berbagai disiplin ilmu sehingga pada saat itu dapat dirumuskan  macam-macam ilmu. Dari ragam tersebut, yang dianggap sudah mandiri dari cabang al-Qur'an adalah ilmu kalam (teologi), ilmu fiqih, ilmu hadits dll. Menurut Badru al-Dien al-Zarkasyi (w. 784 H / 1392 M) dalam bukunya al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an menjelaskan bahwa 'ulum al-Qur'an mengandung 74 disiplin ilmu, sementara itu Imam al-Syuyuthi ( w. 911 H / 1505 M ) dalam al-Itqan menyebutklan sertus lebih.
C. Ruang Lingkup 'Ulum al-Qur'an;
        'Ulum al-Qur'an memiliki cakupan ilmu yang sangat luas, baik berhubungan dengan ilmu agama (al-dien), bahasa maupun ilmu lain. Ada beberapa ilmu yang dipandang melengkapi kajian-kajian al-Qur'an, seperti Ilmu Gharib al-Qur'an, Ilmu Aqsam al-Qur'an, Ilmu Amtsal al-Qur'an, Ilmu Jadal al-Qur'an dll. Al-Syuyuthi kemudian mengembangkan ilmu-ilmu tersebut dengan menambah seperti astronomi, farmasi, biologi dll menjadi bagian dari kajian al-Qur'an. Pada sisi lain Ibn 'Arabi menganggap bahwa 'ulum al-Qur'an mengandung 77450 disiplin ilmu. Hal itu didasarkan pada perhitungan jumlah kalimat yang terdapat dalam al-Qur'an apabila dikalikan empat. Dalam al-Qur'an terkandung makna lahir dan batin.
            Al-Suyuthi lebih lanjut menambahkan bahwa kitab al-Qur'an dipandang sebagai petunjuk. Petunjuk dalam al-Qur'an tidakterbatas untuk kehidupan akhirat saja, tetapi menjadi pedoman juga dalam urusan keduniaan. Akhirnya para pemikir Islam menganggap perlu memasukkan ilmu-ilmu yang dianggap sekuler seperti kosmologi (ilmu alam raya), botani (ilmu tumbuh-tumbuhan), astronomi, kedokteran dll. Menurut Abduh seoang tidak mungkin mampu menafsirkan QS al-Baqarah ayat 212 tentang kemasyarakatan jika tidak mengetahu sosiologi. Dengan demikian 'ulum al-Qur'an memiliki kandunga im=lmu yang sangatl uas, tidak terbatas dalam bidang agama maupun sains.
D. Metoda 'Ulum al-Qur'an;
            Metoda yang dipergunakan dalam belajar 'ulum al-Qur'an  adalah;
  1. Metoda deskriptif (al-tariqah al-wasfiyyah), yaitu memberi gambaran-penjelasan yang mendalam  tentang bagian-bagian al-Qur'an yang mengandung aspek-aspek 'ulum al-Qur'an. Misalnya seorang membahas aqsam al-Qur'an, ia harus membicarakan seluruh qasam dalam al-Qur'an, kemudian dijelaskan aspek-aspek qasam (sumpah) tersebut beserta macam-macamnya secara mendetail. Metoda ini baik dipergunakan disaat 'ulum al-Qur'an belum diintegrasikan dalam satu disiplin ilmu yang sistematis.
  2. Metoda deduksi (al-thariqah al-istiqraiyyah) yakni membahas hal-hal yang husus kemudian digabung menjadi satu, selanjutnya dibahas pula hal-hal yang bersifat umum. Asumsi ini didasarkan atas munculnya  'ulum al-Qur'an diawali dengan lahirnya ilmu-ilmu al-Qur'an yang berdiri sendiri (bersifat idhafi).
  3. Metoda komparasi (al-thariqah al-muqaranah) yakni membandingkan satu riwayat denga riwayat lain, satu pendapat dengan pendapat ulama lain. Dalam kajian berikutnya 'ulum al-Qur'an sudah tersusun dalam satu disiplin yang sistematis, lebih banyak menggunakan metoda deduksi dan komparasi.
E.  Sejarah perkembangan 'ulum al-Qur'an
            Dalam proses kelahirannya ilmu ini mengalami sejarah yang amat panjang, yaitu :
  1. Masa Nabi Muhammad saw dan al-Khulafa al-Rasyidun; 'ulum al-Qur'an pada saatini belum terbentuk secara mandiri, tetapi benih-benih nya sudah mulai nampak. Para sahabat jika menemukan kesulitan dengan makna/arti kata atau ayat al-Qur'an, biasanya langsung ditanyakan kepada Nabi. Misalnya penafsiran kata al-dzulm dalam QS al-An'am [6]  : 82. Nabi menjawab dzulm pada ayat ini sepadan dengan QS Luqman [31] : 13 yaitu syirk. Model seperti ini dalam ilmu ini dikenal dengan munasabah al-Qur'an atau  kontekstualitas al-Qur'an dan tafsir al-Qur'an. Alasan lain adalah sarana alat tulis yang masih sangat terbatas dan larangan Nabi kepada sekelompok orang (Panitia Penulis al-Qur’an) untuk tidak menulis selain ayat-ayat al-Qur'an. Pada masa Abu Bakar dan 'Umar ra, naskah asli al-Qur'an dikumpulkan. Dalam ilmu ini disebut Jam'u al-Qur'an, artinya model-model awal kodifikasi al-Qur'an. Masa 'Utsman ibn 'Affan naskah tersebut ditulis menjadi mushaf standar, maka lahir ilmu rasmi al-Qur'an. Masa 'Ali ibn Abi Thalib dengan memerintahkan Abu Aswad al-Duwali untuk menyempurnakan tata bahasa untuk kepentingan al-Quran. Lalu lahir ilmu I'rab al-Qur'an. Pada masa Umayah dan Abasiyah ilmu ini maju cukup pesat, terbukti dengan lahirnya model-model periwayatan dan upaya kodifikasi ilmu-ilmu tersebut. Para sahabat yang populer dibidang ini adalah al-Khulafa al-Rasyidun yang empat, Ibn 'Abbas, Ibnu Mas'ud, Zaid ibn Tsabit, Ubay ibn Ka'ab, Abu Musa al-Asy'ary dan Abdullah ibn Zubair. Kalangan Tabi'in; Mujahid, 'Atha ibn Rabah, Ikrimah (maula ibn 'Abbas), Qatadah, Hasan al-Basyry, Sa'id ibn Zubair, Zaid ibn Aslam. Mereka yang mempopulerkan benih-benih 'ulum al-Qur'an seperti 'ilmu asbab al-nuzul, ilmu Qira’at al-Qur’an, ilmu makky wa al-madany, ilmu nasikh wa al-mansuh, ilmu gharib al-Qur'an, ilmu tafsir (Tafisr bi al-Ma’tsur) dll.
  2. Pada abad ke 2 hijriyah ulama al-Qur'an memprioritaskan pembukuan ilmu tafsir dan tafsir. Kitab ini dianggap induk 'ulum al-Qur'an. Para penulis masa ini antara lain Muqatil ibn Sulaiman (w. 150 H), Syu'bah ibn Hajjaj (w. 160 H), Sufyan al-Tsury (w. 161 H), Waki' ibn al-Jarrah (w. 197 H), Sufyan ibn 'Uyainah (w. 198 H). Model sajian (lawn) atau corak tafsir mereka pada umumnya mengupas makna ayat dan diimbangi dengan pendapat sahabat dan tabi'in.
  3. Pada abad ke 3 H disusun dan diterbitkan kitab 'ilmu asbab al-nuzul oleh 'Ali al-Madany dan saykh al-Bukhary (w. 234 H). Kitab al-nasih wa al-mansuh dan al-qira'ah disusun oleh AbuUbaid al-Qasim ibn Sulam (w. 224 H). Buku Musykil al-Qur'an disusun oleh AbuMuhammad Abdi Allah ibn Qutaibah (w. 276 H). Al-Maky wa al-Madany dituliMuhammad ibn Ayub al-Dharis (w. 294 H) dan kitab 'ilmu gharib al-Qur'an oleh Abu Bakar al-Sijistsani (w. 230 H).
  4.  Abad 4 ditulis buku 'Ajaib 'Ulum al-Qur'an oleh Abu Bakar ibn Muhammad ibn Qasim al-Anbary (w. 328 H). al-Mukhtazan fi 'ulum al-Qur'an oleh Abu Hasan al-As'ary (w. 324 H).
  5. Abad 5 H, muncul tokoh dalam qira'ah yaitu 'Ali ibn Ibrahim ibn Sa'id al-Khufy (w. 430 H) menulis buku I'rab al-Qur'an dan al-burhan fi ulum al-Qur'an sebanyak 30 jilid. Abu Amir al-Dany (w. 444 H) menulis al-Taisir fi al-qira'ah al-sab'ah dan al-muhkam fi al-nukat. Kemudian lahir ilmu amtsal al-Qur'an, salah satu dituli Abu Hasan al-Mawardy (w. 450 H).
  6. Abad 6 H ditulis buku mubhamah al-Qur'an oleh Abd al-Rahman al-Suhaily (w. 581 H), kemudian funun al-afnan fi 'Ajaib al-Qur'an olehIbnu al-Jauzi (w. 587 H).
  7. Abad 7 H, Ibn Abdi al-Salam (w. 660 H) menulis Majaz al-Qur'an. 'Alam al-Din 'Ali Ibn Muhammad al-Sahawy (w. 643 H) menulis  Jamal al-Qur'an dan al-Murtab fi al-Mutasyabih. Ibrahim al-Maqdisy atau Abu Syamah (w. 665 H) menulis al-Mursyid al-Wajiz fi 'Ulum al-Qur'an Tata'allaq bi al-Qur'an al-'Aziz. Dst.
2. Jam'u al-Qur'an;
        Jam'u al-Qur'an diartikan pengumpulan al-Qur'an. Makna ini dapat dipahami a) penulisan al-Qur'an secara keseluruhan dan b) penghafalan al-Qur'an.
a.    Proses Hafalan al-Qur'an :
  1. Nabi sebagai orang pertama yang menghafal  dan paham terhadap isi al-Qur'an. Tindakannya dicontoh oleh para sahabat.
  2. Menurut al-Bukhary; ada 7 orang sahabat yang terkenal hafalan dan bacaannya, yaitu Abdullah ibn Mas'ud, Salim ibn Ma'qil (maula khudzaifah), mu'adz ibn Jabal, Ubay ibn Ka'ab, Zaid ibn Tsabit, Abu Zaid ibn Salam dan Abu Darda. Sebenarnya ada sahabat-sahabat lainnya sebagai penghafal al-Qur'an bahkan perempuan diantaranya 'Aisyah, Hafshoh, Ummu Sholah dan Ummu Waraqah. Tujuh sahabat tersebut hafal al-Qur'an dan sering sebagai pembaca dihadapan Nabi sendiri.
b.   Proses Penulisan;
1.    Pada masa Nabi.
  1. Nabi mempunyai petugas yang menulis al-Qur'an seperti Abu Bakar, ;Umar, Usman, 'Ali, Abban ibn Sa'id, Khalid ibn Walid dan Mu'awiyah ibn Abi Sufyan. Al-Qur'an ditulis di lontran kayu, pelepah kurma, tulang dlam keadaan masih sangat sederhana.
  2. Sekeretaris tersebut wajib mengonsentrasikan penulisannya hanya pada ayat-ayat al-Qur'an. Menulis yang lain seperti hadits dilarang.
  3. Penulisan al-Qur'an tidak pada satu  tempat, tetapi terpisah-pisah. Tetapi hal itu sudah tertulis secara lengkap. Proses penulisan terus berlanjut, ada kemungkinan ayat yang turun belakangan menghapus (nasih) yang turun lebih dahulu.
2.   Masa Abu Bakar dan 'Umar;
  1. Abu Bakar orang pertama kaliyang yang menyusun satu mushaf (satu kumpulan), setelah terjadi perang Yamamah 12 H (perang muslimin  vs murtad dan nabi palsu) atas usul Umar.
  2. Menyuruh Zaid ibn Tsabit untuk mengumpulkan naskah al-Qur'an  dari para sahabat. Setiap hafalan harus dibuktikan dengan tulisannya. Seperti yang terjadi pada saat menyusun surat al-Taubah ayat 9 : laqad jaa kum min anfusikum al-ayah. Tulisan ayat ini hanya terdapat di Abu Khuzaimah al-Anshary.
  3. Abu Bakar berkata pada Zaid dan 'Umar ; duduklah anda di depan masjid, barang siapa membawa bacaan harus dibuktikan dengan dua orang saksi, lalu baru  tulislah.
  4. Dukungan perkataan Umar : siapa saja hafal ayat al-Qur'an dari Rasul saw, maka sampaikan itu. Mereka menulis di lembaran, papan terkadang di lotaran kayu. Umar tidak menerima ayat al-Qur'an dari seseorang jika tidak dibuktikan dengan dua orang saksi.
  5. Abu Bakar kemudian memberi nama mushaf setelah musyawarah dengan sahabat, kemudian mushaf disimpan di rumah Umar ibn Khattab setelah Abu Bakar wafat. Kemudian di simpan di rumah Hafshah setelah Umar fawat.
  1. Masa Usman ibn 'Affan;
  1. Alasan untuk menyeragamkan tulisan dan bacaan, karena umat Islam sudah menyebar luas seperti di Armenia dan Azarbaijan, terjadi bacaan yang berbeda-beda. Hudzaifah melapor pada Usman untuk segera melakukan kodifikasi.
  2. Zaid ibn Tsabit dibantu oleh Abdullah ibn Zubair, Sa'id ibn al-'Ash, Abdurahman ibn al-Haris ditugasi khalifah untuk mengumpulkan al-Qur'an. Dialek yang dipergunakan adalah Quraisy dan membandingkan dengan suhuf yang ada ditangan hafsah.
  3. Nasklah standar disimpan di Madinah lalu dikirim ke Kufah, Basrah, Damaskus dan Makkah. Naskah yang dulu lalu dimusnahkan. Mushaf standar memenuhi persyarat (a) menggunakn bacaan yang mutawatir (b) ayat-ayat yang mansuh bacaannya ditulis (c) sistem penulisannya mencakup qiraat yang erbeda-beda sesuai dengan lafal-lafal al-Qur'an ketika turun.
4.   Penyempurnaan tulisan al-Qur'an ;
a.    Membaca al-Qur'an merasa kesulitan karena banyak non Arab masuk Islam pada masa Abd. Malik (680 -705) dilakukan penyempurnaan oleh dua tokoh; Ubaidillah bin Ziyad ( w. 67 H) dan Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi (w. 95 H). Ibn Ziyad meletakkan alif sebagai penganti hurufyang dibuang.
b.   Pada abad III H atau akahir IX M ada 3 tokoh penting Abu Aswad al-Dualy, Yahya ibn Ya'mura dan Nashr ibn 'Ashim al-Laits (w. 89 H). Abu Awsad meletakkan hamzah, tasydid, arraum, al-ismam oleh Khalil ibn Ahmad.
c.    Khalifah al-Walid (86-96 H) memerintah Khalid ibn Abi Hajjaj untuk menulis al-Qur'an.  al-Qur'an pertama kali di cetak di Bunduqiyah th 1530 M,  selanjutnya di cetak di Jerman oleh Hinkelman th 1694 M di Hambrugh. Penulisan al-Qur'an dengan lebel Islam diterbitkan mulai tahun 1778 oleh Maulaya. Mushaf tersebut dicetak di Sain Petersbaurg Uni Sofyet.
3.Rasmu al-Qur'an;
        Beasal dari kata rasama yarsamu artinya menggambar atau melukis. Rasmu al-Qur'an atau Rasmu Ustmani adalah tata cara menulis al-Qur'an yang ditetapkan pada masa khalifah Usman ibn 'Affan atau pola penulisan al-Qur'an yang digunakan Ustman ibn Affan dan para sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur'an. Panitia penulis al-Qur'an adalah 4 orang, Zaid ibn Tsabit, Abdillah ibn Zubair, Sa'id ibn 'Ash dan Abdilah ibn al-Harits.
            Menurut Ulama 'ulum al-Qur'an  penulisan al-Qur'an ada 6 macam :
1.  a-Hadf atau membuang, seperti membuang alif. Contoh ;
يا أيها الناس= يأيها الناس ,هاأنتم = هأنتم , اللاه = الله                 
2.  al-Ziyadah; menambah alif setelah waw contoh ; تاالله تفتوأ  ,  بنوا إسرائل
3.  Menggunakan huruf bantu hamzah, seprti;  ائذن   ,  اؤ تمن
4.  Badal; menganti alif dengan waw, seperti ; الصلوة  , الزكو ة , الحيو ة
5.  Wasal dan fasl , menyambung dan memisah, misalnya
 ان لا- الا  , كل ما  - كلما  , من من – ممن
6.  Kata yang dibaca dua bunyi (macam) seperti ; انا عا بد  ,   ملك يوم الدين  , وما يخد عو ن
        Pendapat jumhur ulama tentang rasm al-Qur'an
a.  Jumhur menganggap bahwa rasm al-Qur'an bersifat tawqifi (sesuai petunjuk nabi), alasannya  (a) hadits ; pesan Nabi kepada Muawiyah ;
الق الدواة وحرف القلم وانصب الياء ...      
(b) pernyataan ibn al-Mubarak bahwa sahabat nabi (kecuali panitia) sama sekali tidak ikut campur tangan dalam urusan rasm al-mushaf dan (c) penulisan al-Qur'an sejak Abu Bakar sampai Usman dipandang sebagai ijma sahabat.
b.   Imam Ahmad ibn Hanbal menganggap, haram menlis al-Qur'an menyalahi tulisan khot Usman ibn 'Affan baib berupa waw, alif atau ya.
c.   Imam Malik menganjurkan agar menulis al-Qur'an sesuai dengan mushaf Usmani.
d.   Ulama lain menganggap bahwa menulis al-Qur'an bukan tawqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui oleh Usman sehingga wajib diikuti dan ditaati oleh siapapun dalam menulis ayat al-Qur'an.
e.   Rasm Usmani bukan tawqifi tidak ada halangan satu generasi menulis tidak seperti rasm Usmani, jika ada kesepakatan mereka.
f.   Abu Bakar al-Baqillani; Allah tidak mewajibakan kepada umat untuk menggunakan tulisan dengan bentuk tertentu dengan meninggalkan bentuk tertentu pula. Jika wajib harus ada ketentuan dari al-Qur'an atau hadits. Rasul juga tidak menentukan jenis-jenis huruf-tulisn yang digunakan oleh panitia.
g.   Manna al-Qaththan; penulisan al-Qur'an murni kreasi panitia empat atas persetujuan Usman ibn Affan. Salah satu dasarnya pesan Usman kepada Zaiod ibn Tsabit; jika terjadi perbedaan menulis al-Qur'an supaya menggunakan dialek Quraisy. Contoh :  التا بو ت  ----  التا بوة
h.   Subhi Shalih ; penulisn al-Qur'an bukan tawqifi, contoh menulis tahaji pada fawatih al-suwar, adalah atas persetujuan Usman.
i.    Imam Baihaqi; menulis al-Qur'an harus memperhatikan cara menulis al-Qur'an yang pertama, tidak boleh berbeda maupun mengubah.       
      Rasmu al-Qur'an dngan qiraat al-Qur'an ;
1.    Rasmu Usmani memberi peluang dalam hal qiraat, sehingga  menimbulkan berbeda-beda bacaan, seperti qiraah tujuh, sepuluh dan qiraah empat belas bahkan qiraah syadz.
2.   Imam Mujahid melakukan penyeragaman bacaan dengan qiraah sab'ah, yaitu qiraah imam tujuh yang populer; ibn Katsir al-Dary, Nafi', Abdillah al-Yashiby, Abu Amr, Ya'qub, Hamzah, 'Ashim.
3.   Menurut Imam Malik, shalat dengan bacaan al-Qur'an dengan versi Ibnu Mas'ud hukumnya tidak syah.
4. I'jaz al-Qur'an
        I'jaz al-Qur'an, I'jaz berasal dari kata a'jaza – I'jaz, berarti melemahkan  atau menjadikan lawan tidak mampu menandingi. Pelaku disebut mu'jiz atau mu'jizat menggunakan ta marbuthah bermakna superlatif. Mu'jizat diartikan oleh sebagaian ulama sebagi sesuatu hal yang atau peristiwa yang luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada orang-orang yang ragu untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, tetapi mereka tidak mampu melayani tantangan itu. Ada juga yang mengartikan; sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya. Sebagian mengartikan I'jaz al-Qur'an adalah pengokohan al-Qur'an sebagai sesuatu yang mampu melemahkan berbagai tantangan untuk penciptaan karya sejenis. Ada juga definisi I'jaz al-Qur'an adalah kitab yang mampu melemahkan tantangan penciptaan karya yang serupa dengannya.
Definisi Mu'jizat al-Qur'an menurut ulama ;
1.    Manna al-Qaththan mendefinisikan; "sesuatu kejadian yang keluar dari kebiasaan disertai dengan unsur tantangan dan tidak akn dapat ditandingi".
2.   Muhammad 'Alwy al-Maliki dalam  "zubdatul itqan", mendefinisikan bahwa mu'jizat adalah hal diluar kebiasaan yang disertai dengan tantangan dan tidak mampu untuk ditandingi.
3.   Sebagian ulama mendifinisikan bahwa mu'jizat adalah memperlihatkan kebenaran kerasulan dan fungsi kenabiannya serta kitab suci yang dibawanya serta memperlihatkan kekeliruan bangsa Arab yang menetangnya, karena tantangan yang dilontarkan Allah dalam al-Qur'an tidak dapat mereka layani.
4.   Imam Syuyuthi dalam al-itqan fi ulum al-Qur'an membagi mu'jizat pada 2 macam (a) mu'jizat hissiyah; mu'jizat yangdapat ditangkan dengan panca indra, seperti tongkat nabi Musa as, N. Isa, N. Ibrahim as (b) mu'jizat aqliyah; mu'jizat yang ditangkap oleh nalar manusia, diberikan pada Muhammad saw, karena bersifat tantangan daya talar maka : (1) tidak erakhir dengan wafat nabi (2) menentang siapa saja yang ingin mencoba menyainginya termasuk  generasi manusia setelah Rasul sampai akhir masa.
5.   Mu'jizat menurut mutakallimin; al-Qur'an menyampaikan informasi gaibnya, isyarat ilmiyah, bahasa yang indah dan menyampaikan kebenaran kerasulan Nabi.
Kemu’jizatan al-Qur’an dan fungsinya terhadap kerasulan Muhammad saw, seperti dijelaskan dalam Q.S al-Thur [52]: 30:
      1. ام بقو لو ن شا عر نتر بص به ريب المنو ن  ( الطو ر – 52- 30)
“…Bahkan mereka menyatakan Dia itu adalah penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan akan menimpa dirinya”

        2. إن هذا إلا ســحر مبيـــــــــــن ( سبا 34_)
      “… ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”.

3. إن  هذ ا إلا أ سا طير الاو لين  ( الأ نعا م : 6- 25).
      “… Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah donegngan orang-orang dahulu (mitos-mitos) belaka “.

Al-Qur'an sendiri menantang orang-orang yang menandingi al-Qur'an dengan tiga kriteria yang ditampilkan yaitu ;
1.      Kafir Quraisy supaya menampilkan sepadan/sebanding dengan  al-Qur'an, mereka tidak mampu seperti QS al-Isra [17] ; 88:
قل لئن اجتمعت الإ نس والجن على أن يأ توا بمثل هذا القر أن لا يأ تون بمثله
ولو كا ن بعضهم لبعض ظهيرا.
      “Katakanlah sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak aka mampu membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian dari mereka menjadi pembantu sebagian yang lain”.
2.   Mendatangkan sepuluh surat yang menyerupai ayat-ayat al-Qur'an, juga tidak dapat, seperti QS Hud [11] : 13.
... قل فأتوأ بعشر سور مثله مفتريات ...
      “… Katakanlah (kalau demikan) datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya… “.
3.   Menampilkan satu surat yang menyerupai al-Qur'an, juga tidak dapat, seperti QS al-Baqarah [2] : 23;
وإن كنتم في ريب مما نزلنا على عبد نا فأ توا بسو رة من مثله ...
“Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad saw), buatlah sebagian surat saja yang sama seperti al-Qur’an …”.
Segi-segi kemu'jizatan al-Qur'an dapat dikaji berdasarkan :
1.      Gaya bahsa al-Qur'an; Orang Arab (kafir Quraisy) tidak ada yang mampu menandingi gaya bahsa al-Qur'an. Kendatipun ayat-ayat palsu lahir tetapi isi dan makna kandungan tidak ada sama sekali. Hal ini dilakukan oleh orang-orang yang mengaku nabi-nabi sekitar ada 7 orang.
2.     Susunan kalimat; susunan ayat al-Qur'an sangat jauh dengan keindahan bahasa-sastra Arab lainnya. Ini juga tidak sama dengan hadits qudsi yang sama-sama lewat perantara lisan Nabi Muhammad saw. Dalam al-Qur'an ditampilakan tasybih (amtsal),isti'arah, aqsam, jadal, dll.
3.     Kandungan hukum Tuhan yang lengkap; al-Qura'an menampilkan kandungan hukum yang komplit seperti akidah, ibadah, mua'malah-ekonomi, munakahat, jinayah, siyasah dll.
4.     Eskatologis; sebagai mu'jizat Allah menginformasikan hal-hal yang gaib, tetapi ada jaminan nyata pada saat waktunya tiba, hidup, mati, surga neraka dan hal-hal lain sulit ditangkap oleh indra manusia.
5.     Isyarat-isyarat ilmiyah; banyak ayat menampilkan isyarat ilmiyah baik yang menyangkut sains (ilmu eksakta) ataupun masalah-masalah sosial yang ditampilkan sebagai bagian dari konsep dasar manusia.
Pandangan Mu'tazilah terhadap mu'jizat. Kalangan Mu'tazilah berpendapat bahwa kemu'jizatan al-Qur'an adalah Sharfah bukan karena al-Qur'an itu sendiri, tetapi karena faktor kekuatan lain diluar al-Qur'an yang menjaga ketat terhadap al-Qur'an, sehingga orang Arab tidak mampu menandinginya.
Meskipun Al-Qur’an secara tegas menantang orang Arab Quraisy untuk membuat Al-Qur’an, seayat, sesuarat ataupun yang lain tidak mampu, namun ada tokoh terkenal yang dapat ayat-ayat qur’an palsu, yang dilakukan oleh nabi palsu pula.  Salah satu ayat-ayat di buat oleh nabi palsu Musailamah al-Kadzab adalah ;
1.       يا ضفد ع بنت ضفدعين نقي ما تنقين أعلا ك في المــاء وأسفلك في الطين .
2.      إنا أعطيناك الجما هر فصل لربك وجاهر. والطاحنات طحنا. والعا جنا ت عجنا. والخا بزات خبزا .
3.       الفيل ماالفيل. وما أدراك ما الفيل, له ذنب وبيل و حر طو م طو يل .
            Artinya :
  1. Hai katak, anak dari dua katak, bersihkan apa saja yang akan engkau bersihkan, bagian atas engkau di air dan bagian bawah engkau di tanah.
  2. Sesungguhnya saya memberi kedudukan yang sangat terhormat, maka lakukanlah shalat untuk tuhanmu dan berjuanglah dengan terang-terangn. Demi wanita-wanita yang menumbuk gandum  sampai menjadi tempung, demi wanita-wanita yang membuat adonan roti siap jadi. Demi wanita-wanita yang membuat roti sampai jadi. Gajah, tahukah kamu, apakah gajah itu ?. Gajah mempunyai ekor yang kecil.
5.Qira'at al-Qur'an;
        Makna qiraat al-Qur'an adalah ilmu yang membahas tentang pengucapan lafal-lafal al-Qur'an baik yang disepakati maupun terjadi khilaf (bagi ahli qiraat) seperti hadaf, isbat, tahrik, taskin, fashl, washl, ibdal dll yang diperoleh melalui indra pendengaran, atau :
القراأت : علم يعلم منه إتفا ق النــــا قلين لكتــا ب الله تعالي واختلا فهم في الحذ ف والإ ثبا ت والتحر يك والتسكين والفصل والو صل وغير ذ لك من هيئة النطق والإ بدا ل وغيره من حيث السما ع.
Pokok pengertian di atas, yang menjadi pokok pikiran dalam hal qiraat adalah :
  1. al-Sima' artinya pendengaran secara langsung dari nabi Muhammad saw.
  2. al-Naql artinya melalui jalan periwayatan.
Qiraat menurut Manna al-Qaththan adalah aliran dalam bacaan atau melafalkan ayat-ayat al-Qur'an yang dipegangi oleh salah satu imam dari beberapa imam Qurra yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Perbedaan  antara qira'ah dengan al-Qur'an;
1.     Imam Badruddin al-Zarkasyi dan Qasthalany dalam al-Burhan fi 'Ulum al-Quran berpendapat bahwa antara al-Qur'an dan al-Qira'at dua substansi yang berbeda; al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diturunkan  kepada nabi Muhammad saw sebagai mukjizat dan penjelasan, sedangkan qira'at adalah perbedaan pengucapan lafal-lafal wahyu tersebut baik dalam penggunaan tahfif, tasydid maupun yang lain.
2.     Menurut jumhur; al-Qur'an melekat dengan qira'at; yaitu bacaan al-Qur'an yang didasarkan riwayat dengan sanad yang sahih sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tidak menyalahi rasmu al-mushaf. Jika tidak demikian maka tidak disebut al-Qur'an maupun qira'at.
3.     Ibnu Daqiq al-'Id menjelaskan bahwa setiap qira'at termasuk al-Qur'an meskipun qira'at yang syadz.
Perbedaan qira'at dengan tajwid; qira'at adalah cara pengucapan lafal, kalimat dan dialek (lahjah) kebahasaan al-Qur'an sedangkan tajwid adalah pengucapan huruf-huruf al-Qur'an secara tartib sesuai dngan mahraj dan bunyi asalnya.
Contoh-contoh qira'ah :
1. ولا تقربو هن حتي يطهرن  -   يطهرن  ( البقر ه 222).
2. متكئين علي رفرف خضر وعبقري حســــــا ن - رفارف وعبا قري .
2
6. Asbab al-Nuzul;
Asbab al-Nuzul berasal dari kata asbab yang artinya sebab-sebab dan nuzulartinya turun.Asbab Nuzul kemudian diartikan sebab-sebab yang mendasari ayat al-Qur'an turun. Latar belakang turun ayat al-Qur'an mengandung konteks historis maupun konteks sosiologis. Dengan demikian ayat al-Qur'an turun meskipun tidak disebutkan sebab nuzul tetap memiliki bobot sosiologis. Ayat al-Quran turun selama 23 tahun, 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah memiliki daya jangkau ke seluruh umat manusia tanpa pandang bulu. Al-Qur'an dapat berlaku karena umumnya lafal dan juga karena khususnya sebab. Al-'ibratu bi umumi al-lafdi la bi khususi al-sabab atau al-ibratu bi khususi al-sabab la bi umui al-lafdi. Pengertian asbab nuzul selanjutnya disampaikan oleh Subhi Shalih :    
ما نزلت الأ ية أو الأ يا ت بسبه متضمنة له أو مجيبة عنه أو مبينة لحكمه زمن وقو عه.                                                               
"Sesuatu yang menjadi sebab ayat atau beberapa ayat al-Qur'an turun karena mengandung sebab, atau jawaban dari pertanyaan atau penjelasan terhadaop hukum (yang diperlukan) saat peristiwa itu terjadi".
Sebab nuzul juga dapat diartikan dengan pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkan ayat-ayat al-Qur'an.
Kemudian ayat al-Qur'an dikelompokkan menjadi dua macam (1) sebagain ayat diturunkan tanpa berhungan dengan sebab nuzul (2) sebagian lain berhubungan dengan sebab nuzul. Apabila yang dimaksud dengan asbab nuzul adalah hal-hal yang menyebabkan turun ayat al-Qur'an, maka semua ayat-ayat al-Quran mempunyai asbab nuzul, alasannya faktor kesejarahan Arabia (Makkah- Madinah - khususnya)pra al-Qur'an pada masa turun merupakan latar belakang makro al-Qur'an, sedangkan riwayat-riwayat sebab nuzul merupakan latar belakang mikro al-Qur'an.
Pendapat ulama sekitar asbab al-nuzul :
1.     al-Zurqani dan al-Syuyuthi  berpendapat bahwa konteks sejarah dalam memahami al-Quran sangat penting dalam menangkap pesan universal al-Qur'an di luar masa dan tempat pewahyuan (dimensi tempat – waktu).
2.     Al-Wakidi (w. 468 H/ 1075 M) berpendapat asbab nuzul sangatpenting untuk memahami tafsir al-Qur'an.
3.     Ibnu Taimiyyah berpendapat :
معرفة سبب النزول تعين علي فهم الأية فإ ن العلم بالسبب يو رث العلم بالمسب                                                                   
4.     Ibnu Daqiq al-'Id, berpendapat bahwa mengatahui sabab nuzul adalah merupakan cara yang sangat penting untuk memehami ayat al-Quran.
5.     Fazlur Rahaman; salah satu syarat penting untuk memahami al-Qur'an adalah mengetahui situasi-situasi sebab nuzul(historis) ayat tersebut.
Hikmah/urgensi mengetahui sabab nuzul :
1.     Membantu memahami dan sekaligus mengatasi ketidak pastian dalam menangkap ayat-ayat al-Qur'an, contoh QS al-Baqarah [2]: 115;
      ولله المشرق والمغرب فأ ينما تولوا فثم وجه الله ...                                                                                   
Sebab nuzul ayat tersebut di atas, sekelompok muslimin yang sedang musyafir shalat dalam gelap gulita sehingga tidak mengatui arah kiblat yang sebenarnya, padahal menghadap qiblat merupakan syarat shalat. Dhahir ayat tersebut membolehkan seseorang yang shalat menghadap arah mana saja, akan tetapi ayat tersebut khusus bagi orang yang tidak dapat menentukan arah kiblat yang sebenarnya.
2.     Asbab nuzul memberi kejelasan kepada makna ayat yang bersinggungan dengan hukum, seperti QS al-Baqarah [2]: 158 :
إن الصفا والمروة من شعا ئر الله فمن حج البيت أو اعتمر فلا جناح عليه ان يطوف بهما ...                                      

Urwah ibn Zubair menanyakan ayat ini yang berkaitan dengan فلا جنا حyang artinya tidak fardu (wajib) untuk melakukan sa'i. Hal ini pernah terjadi anggapan kaum muslimin enggan melakukan sai' dari Shofa Marwah, sebab sudah menjadi tradisi Jahiliyah orang yang melakukan sai' dari bukit Shofa harus mengusap patung Isaf dahulu, jika di bukit Marwah juga harus mengusap patung Nailah. Pada saat itu kaum muslimin enggan sa'i ditempat tersebut, lalu ayat tersebut turun. Saat Islam datang patung-patung tersebut di hancurkan.
3.     Mengatasi keraguan ayat yang mengandung pengertian umum, dapat mencari yng khusus ( al-'am mencari mukhasisnya), seperti QS al-an'am ayat 145 :
قل لا أجد في ما أو حي إلي محرما علي طا عم يطعمه إلا أن يكون ميتة أو د ما مسفوحا ...                                       

dam masfuh adalah darah yang mengalir. Artinya adalah darah yang mengalir hukumnya haram untuk dimakan. Namun pada ayat lain ditegaskan bahwa darah hukumnya haram dimakan, baik mengalir atau tidak seperti QS al-Maidah[5]:3

حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الحنزير                                                                                                                   Bangkai, darah dan daging babi haram hukumnya untuk dimakan.
4.     dll.
Ungkapan sabab nuzul :
1.     Ungkapan sabab nuzul disampaikan secara jelas dalam tafsir al-Qur'an, biasanya disebutkan :                  1. سبب نزو ل هذه الأية هذ ا ......
2.حدث هذا ... فنز لت الأ ية .                                       
3. سئلت رسو ل الله ص م عن كذا ... فنز لت الأ ية .

2.     Ungkapan asbab nuzul disampaikan secara muhtamil (kemungkinan), seperti :
1. احسب هذه الأية نزلت في كذا ....
2. ما احسب هذه الأية نزلت إلا في كذا...

Model sabab nuzul :
1.     Sebab nuzul bermacam-macam tetapi yang turun hanya satu (ta'adud al-asbab wa al-nazil wahid), seperti ayat al-dhuha sampai 3 ayat.

والضحى . واليل إذا سجى  . ما ودعك ريك وما قاى .                                                                                  
Ayat-ayat  ini turun satu (kali) tetapi sebab banyak, yaitu : 1) Hadis riwayat al-Bukhary menjelaskan  dari Jundab bahwa Rasul saw sakit sampai 2 atau 3 malam, hingga beliau tidak salat malam  dst, terus Ayat tersebut turun. 2) Hadits Thabarany bahwa rumah Rasul saw dimasuki anjing kecil dibawah ranjangnya, lalu mati, sampai sekitar 4 hari wahyu tidak turun. Cara yang harus ditempuh dalam menentukan riwayat yang sahih adalah (1) harus menggunakan riwayat hadits yang shahih berhubunan dengan turun ayat tersebut. (2) melakukan tarjih dalam riwayat tersebut. Lalu hadits al-Bukhary yang dipergunakan untuk menentukkan sebab nuzul.
2.     Ayat bermacam-macam sedang sebab nuzul hanya satu, seperti QS al-Taubah [9]: 74:
            يحلفون بالله ما قالوا ولقد قا لوا كلمة الكفر           
dan QS al-Mujadilah [58]: 18-19.
بوم يبعثهم الله جميعا ....                    استحوذ عليهم الشيطا ن فأ نسهم ....
Ta’adudun nazil wa asbab wahid : 2 ayat turun tetapi sebab nuzul satu. Riwayat Ibnu Jarir al-Thabari, al-Thabarani, Ibn Mardaweh dari Ibnu Abbas, tentang turun surat al-tawbah ayat 74. Demikian pula al-Hakim meriwayatkan hadis dengan redaksi yang sama (seperti di atas) maka tutun ayat 18- 19 surat al-Mujadilah.

Dan QS al-Fatihah juga satu surat tetapi sebab nuzul banyak bebrapa riwayat hadits yang disampaikan oleh  ‘Ali ibn abi Thalib, Ibni ‘Abbas, Abu Hurairah. Surat al-Fatihah turun di Makkah. Menurut Mujahid turun di Madinah. Kemudian al-Fatihah dikenal dengan sab’ul matsani.
7. Makiyah dan Madaniyyah:
Mengetahui Makky dan Madany sangat penting untuk mengetahui notasi surat-surat yang diwahyukan apakah di Makkah atau di Madinah, bahkan di daerah yang dekat dengan Makkah atau Madinah. Dengan demikian dapat dipisahkan pertimbangan historis yang berhubungan dengan sikap Nabi dan karakter muslimin di dua tempat tersebut. Kajian ini menjadi prinsip dalam kerangka kronologi revelasi (pewahyuan) al-Qur'an. Ada pemilahan yang berhungan dengan bidang ini :
A. Definisi Makky dan Madany  menurut :
1.     Al-Zarkasyi (dalam al-Burhan fi 'ulum al-Qur'an) mendefinisikan berdasarkan masa turun. Makkiyyah adalah ayat-ayat al-Qur'an yang turun sebelum hijrah meskipun diluar Makkah. Sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun setelah hijrah kendatipun di Makkah atau di 'Arafah.
2.     Mana' al-Qaththan (Mabahis fi 'ulum al-Qur'an), berdasarkan tempat turun. Makiyyah adalah ayat-ayat yang turun di Makkah dan sekitarnya seperti Mina, 'Arafah atau Hudaibiyah. Madany adalah ayat-ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya seperti Uhud, Quba dan Sula'.Contoh misalnya QS al-Nisa [4] : 58; "inna Allaha ya murukum an tuaddu al-amanati ila ahliha … " adalah turun di Makkah tapi disebut Madaniyyah, begitu pula QS al-Maidah ayat 3 "al-yawma akmaltu lakum di nakum …" juga disebut sama.
3.     Manna' al-Qaththan mengupas dalam perspetif obyek pembicaraan bahwa; ayat-ayat Makiyyah adalah ayat-ayat yang menghithabi ahli Makkah sedangkan yang mengkhitabi ahli Madinah disebut Madaniyyah.
Definisi ini mengandung kelemahan jika ayat turun tidak di dua tempat tersebut, seperti QS al-Tawbah [9]: 42;   "law kaana 'aradhan qariban…" adalah turun di Tabuk dan Qsal-Zukhruf [43] : 45;  "wasal man arsalna min qablika …"  , turun di Bait al-Maqdis. Bahkan ada juga yang turun di tengah perjalanan antara Makkah Madinah yaitu QS al-Fath [48]. (29 ayat).
            B. Karakter Makky dan Madany :
4.   Menurut Subhi Shalih; melihat dari tiga kategori (1) masa/waktu turun (2) tempat turun dan (3) masyarakat. Ada juga menggunakan model ; ya ayyuha al-nas, adalah Makiy dan ya ayyuha al-ladzina amanu adalah Madaniy.
Cara mengetahui Makiyah dan Madaniyyah :
1.     Melalui transmisi (periwayatan dalam hadits);
a.    melalui riwayat-riwayat hadits yang shahih dari shahabat yang menyaksikan langsung ayat turun atau tabi'in yang berjumpa dengan shahabat tersebut.
b.    Informasi kronologi turun ayat al-Quran dari seorang shahabat seprti ucapan Ibn Mas'ud. Ia berkata demi Allah saya tahu ayat turun untuk siapa dan dimana, sekiranya ada orang yang lebih tahu tentang itu, akan ku jumpai dia.
2.     Melalui analogi (mempersamakan):
a.     tema sentral dalam ayat al-Qur'an.
b.     Tema khusus, seperti kisah-kisah Nabi dahulu.
c.     Tema khusus tentang pengaturan masyarakat muslim, tentang waris, had dll.
Ciri-ciri Makiyyah :
1.     Ada ayat sajdah.
2.     Dimulai dengan kalla.
3.     Ya ayyuha al-nas, kecuali surat al-Haj [22].
4.     Tema kisah para Nabi dan umat dahulu.
5.     Kisah nabi Adam as dan Iblis, kecuali al-Baqarah [2].
6.     Awal surat huruf tahaji.
Ciri-ciri Madaniyyah :
1.     Ketentuan faraidh dan hudud.
2.     Sindiran kaum munafik, kecuali surat al-'Ankabut [29].
3.     Perbedaan dan kritik kepada ahl kitab.
Kemudian jumlah surat yang turun di Makkah sebanyak 91 surat sedangkan Madaniyyah 23 surat.
8. al-Naskh fi al-Qur'an;
Al-naskh mrnurut bahasa al-izalah wa al-naql, artinya menghilangkan dan mengganti. Menurut istilah adalah ان يرد دليل شر عي مترا خيا عن دليل شرعي مقتضيا خلا ف حكمه
"Perubahan hukum syara' yang datang baru dari keadaan hukum syara' yanglama"
Ada juga yang mnedefinisikan bahwa naskh adalah menghapus hukum syara' dengan khitab syara' pula. Dr. Quraisy Shihab mengembangkan makna nasakh atas dasar asumsi-asumsi ulama dengan cakupan yang sangat luas, yaitu :
1.     Perubahan hukum lama karena ada khitab baru, berupa dalil syara', seperti ayat al-Quran dengan ayat al-Qura'an atau hadits dengan hadits lain yang maknanya nampak berlawanan.
2.     Penjelasan hukum baru dengan adanya hukum lama yang membahas dalam persoalan yang sama.
3.     Pembatalan terhadap hukum lama, sebab ada ketentuan hukum baru, karena hukum lama sudah tidak diberlakukan lagi.
Imam al-Suyuthi menganggap nasakh dalam al-Quran hanya menyangkut persoalan-persoalan hukum saja yang terikat dengan perintah dan larangan (al-amru wa al-nahy). Ayat-ayat al-Qur'an yang tidak ada naskah adalah ayt-ayat yang berhubungan, aqidah-tawhid,thalab, wa'ad, wa'id dan eskatologis. Ayat-ayat al-Qur'an yang dianggap sebagai dasar adanya naskh adalah QS al-Baqarah; 106, al-Jasiyah; 29, al-A'raf; 154, al-Haj 52. Menurut Abdu al-Rahman al-'Ak syarat  naskh ada lima macam (1) 2 aspek hukum syara' (2) Nasikh (yang menghapus) datang akhir sedangkan mansukh datang lebih dahulu (3) lafal yang mansukh tidak muqayyad (4) nasikh berhubungan dengan ilmu maupun pengamalan dan (5) nasikh dan mansukh harus berupa nash syara'.
      Pendapat ulama sekitar naskh ;
1.     Abu Muslim al-Ashfahany, Imam al-Razi, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqy dan al-Khudry berpendapat; tidak ada naskh dalam ayat-ayat al-Qura'n. Al-Ashfahani berargumen bahwa al-Qur'an secara rasio tidak mungkin disentuh dengan pembatalan, tetapi kebatilan. Hukum yang berlaku dahulu tidak disebut batil, karena sejalan dengan kemaslahatan sehingga harus berubah, bukan karena tidak benar. Salah stu ayat yang menjadi dasar Abu Muslim adalah QS Fushilat;  La ya'tiihi bathilu min baini yadaihi wala min kholfihi tanzilum min hakimin majid.
2.     Jumhur Ulama, diantara Abu al-Qasim berpendapat bahwa sekitar 43 surat dalam al-Qur'an yang tidak ada nasikh – mansukh. Ada 25 surat didalamnya terdapat nasikh – mnasukh, 6 surat ada nasikh, 40 surat hanya mansukh saja.
Dasar ulama yang berargumentasi naskh adalah salah satu ayat al-Qur'an al-Nahl ; wa idza baddalna ayatan al-ayah dan al-Baqarah ayat 106 ; maa nansakh min aayatin aw nunsiha al-ayah …
Macam-macam naskh :
1.     Menghapus hukum, mengabadikan tulisan ayat al-Qur'an, seperti menghapus hukum wasiat kepada dua orang tua dan kerabat dekat dengan ayat-ayat mawaris yang ada.
2.     Menghapus hukum sekaligus dengan tulisannya, hukum nasikh dan tulisannya tetap, seprti shalat menghadap Masjid al-Aqsha dinasah dengan shalat menghadap Masjid al-Haram. Puasa 'asyura dengan puasa ramadhan.
3.     Menghapus hukumnya mengabadikan tulisannya serta menghapus tulisan nasikh dan menetapkan hukumnya, seperti QS al-Nisa; 15 Fa amsikuu hunna fi al-buyuti … dengan ayat al-syaikhu wa al-syaikhatu idza zanaaya far jumuhuma albatata nakaalan min Allah. Dalam hadits shahih bahwa ayat ini ada, tulisan ayat ini tidak ada dalam al-Qur'an tetapi hukum rajam masih diberlakukan.
4.     Menghapus tulisnnya dan mengabadikan hukumnya seperti ayat al-Quran yang tidak tertulis ini :لو كا ن لإبن ادم وا د يا ن من ذهب لتمني لهما ثا لثا ...
Jenis-jenis nasikh;
1.     al-Nasikh al-syarikh; hukum yang berlaku dahulu secara tegas dihapus oleh hukum yang tiba kemudian. Contoh al-Anfal [8] ayat 65 tentang perang. Satu orang harus berani dengan 10 orang kafir. Ayat ini dihapus secara jelas oleh ayat sesudahnya QS al-Anfal [8] ayat 66 yang menentukan satu orang muslim melawan 2 orang kafir.
2.     al-Nasikh al-Dhimny; nasikh mansukh yang tidak dapat dikompromikan. Contoh ayat tentang harus wasiat pada 2 orang tua dan para kerabat dalam al-Baqarah [2] : 180 dihapus dengan ayat-ayat warits dalam surat al-Nisa [4] : 7.
 كتب عليكم إذا حضر أ حدكم المو ت إن ترك خيرا الو صية للوا لد ين والأ قر بو ن .

للر جال نصيب مما ترك الوا لدان والأ قر بون وللنسا ء نصيب مما ترك الوا لد ان والأقر بون ...
3.     al-Nasikh al-Kully ; menghapus hukum secara keseluruhan. Misalnya iddah 4 bulan sepuluh hari bagi suami mati dihapus dengan iddah satu tahun. Al-Baqarah 234 dihapus dengan al-Baqarah 240.
4.     al-Nasikh al-Juz'y; menghapus hukum untuk sebagian individu. Lafal muthlaq dengan muqayyad. Contoh menuduh zina wajib didera 80 kali jika tanpa saksi. Jika penuduh suami sendiri maka dapat menggunakan li'an.
Perbedaan nasikh, tahshish dan bada';
Dalam Nasikh;
1.     Antara nasikh dan mansukh terdapat perbedaan antar satuan.
2.     Nasikh menghapus hukum secara menyeluruh dari ketentuan mansukh.
3.     Nasikh mansukh harus berupa dalil sabiq dan lahiq.
4.     Nasikh menghapus hukum yang tidak terbatas.
5.     Akibat hukum nasikh, tidak mengikat pada hkum mansukh.
Dalam Takhsis;
1.     Satuan dalam khas merupakan bagian dari 'am.
2.     Hukum tahsis merupakan hukum bagian dari 'am.
3.     Takhsis dapat berbentuk dalil yang beriring-iringan maupun berbeda tempat.
4.     Takhsis kadang-kadang tidak mampu menghapus hukum secara umum, karena lafal umum berlaku keumumannya secara terus-menerus.
5.     Sisa satuan dalam 'am terikat dengan dalil 'am juga.
Dalam bada';
1.     Bada' artinya tampak setelah tersembunyi.
2.     Munculnya hukum setelah terjadi ketidaktahuan yang membuat hukum, disaat mungkin muncul hukum tersebut.
Dasar penetapan nasikh – mansukh;
1.     Melalui jalur transmisi, riwayat-riwayat yang shahih.
2.     Melalui kesepakatan ulama.
3.     Melalui studi sejarah.
Hikmah nasikh-mansukh;
1.     Mempertahankan kemaslahatan ummat.
2.     Meraih kesempurnaan pensyariatan hukum dengan cara bertahap.
3.     Menguji ketulusan mukallaf dalam rangka tunduk kepada hukum-hukum Allah.
9. al-Munasabah fi al-Qur'an;
            Munasabah mempunyai arti saling berdekatan dan berdampingan (المقاربة  والمشا كله) Munasabah dapat disebut juga relasi al-Qur'an antar ayat maupun antar surat dalam al-Qur'an. Ilmu ini sangat penting, karena untuk membantu memahami makna al-Qur'an yang memiliki karakter khas, agar dapat diketahui makna teks dan kontekstualitas antar ayat maupun surat dalam al-Qur'an.
A.  Definisi munasabah al-Qur'an menurut ulama :
  1. Menurut Mana' al-Qaththan dalam Mabhis fi 'ulum al-Qur'an bahwa munasabah adalah;
وجه الإرتبط بين الجملة والجملة في الأية الواحد ة أو بين الأية والأية في الأية المتعد دة أو بين السورة والسورة .
"Hubungan antar satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, atau satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat atau antara satu surat dengan surat lain dalam al-Qur'an".
2.   Menurut Ibnual-'Araby :
إرتباط أي القرأن بعضها ببعض حتي تكون كا لكلمة الواحدة متسقة المعاني منتظمة المبا ني علم غظيم .

"Hubungan antar ayat-ayat al-Qur'an yang menyerupai satu rangkaian kalimat yang utuh, memliki kedalaman makna dan kerapian redaksi, sehingga ilmu ini merupakn sesuatu yang tinggi".
3. Menurut al-Biqa'I; munasabah adalah "Pengetahuan tentang makna dibalik susunan ayat atau tartib bagian-bagian dalam ayat atau surat al-Qur'an".
B.   Macam-macam munasabah
Menurut 'Alwi al-Maliki munasabah bermacam-macam yang ditampilkan dalam al-Qur'an ;
1.    Munasabah antar surat ;
Imam Syuyuthi berpendapat bahwa kontekstualitas surat dengan surat lain berfungsi sebagai tabyin (penjelas) dan takmil (penyempurna). Misal QS al-Fatihah [1] : 1 " al-hamduli Allahi rabbi al-'alamin, mempunyai hubungan dengan surat al-Baqarah [2] : 152 dan 186.
فا ذ كروني أذ كركم واشكرولي ولا تكفرون   (البقرة : 152).
وإذا سأ لك عبا دي عني فإ ني قريب, أجيب دعوة الداع إذا دعان فليستجيبوا لي وليؤ منوابي لعلهم يرشد ون  (البقرة 186).
Dua ayat tersebut mempunyai relasi juga dengan QS al-Baqarah [2} : 21-22. Ayat 2 QS al-Baqarah [2]: 2 ada relasi juga dengan QS Ali 'Imran [3] : 3. Kitab al-Qur'an dijelaskan pula oleh keterangan ayat tersebut; bahwa kitab tersebut yakin benar dari Allah dan membenarkan dengan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya yaitu Tawrat dan Injil.
2.   Munasabah (relasi) antar surat:
Satu surat dengan surat lain dalam al-Qur'an mempunyai relasi-relasi yang penting dari nama-nama surat tersebut, seperti QS al-Baqarah [2], QS Yusuf [18], QS al-Naml [27] dan QS al-Jin [72]. Lebih khusus QS al-Baqarah [2] 67-71 mengandung arti tentang kekuasaan Allah yang ditampilkan dalam cerita sapi betina. Suatu isyarat tentang kekuasan-Nya dapat membangkitkan yang sudah mati. Salah satu butir iman pada hari akhir.
3.   Relasi antar bagian dan sub ayat;
Pada ayat tertentu Allah menampilkan bentuk kata dalam ayat yang berlawanan seperti sinar terang- gelap gulita, malam - siang, masuk-keluar, turun – naik, adzab - rahmah atau ancaman dengan pahala. Korelasi seperti ini dapat ditemukan dalam QS  al-Baqarah [2], al-Nisa [4] serta al-Maidah [5].
            Manfaat Munasabah al-Qur'an :
a.   Munasabah al-Qur'an dapat menjadi alternnatif pencarian makna ayat al-Qur'an yang tidak diketahui asbab nuzul.
b.   Tema-tema dalam ayat-ayat atau surat-surat al-Qur'an mempunyai relevansi antara satu dengan yang lain, sehingga satu al-Qur'an mempunyai satu kandungan yang menyeluruh.
10. al-Muhkam wa al-Mutasyabih fi al-Qur'an;
            Muhkam dan mutasyabih secara harfiah diartikan kokoh, sempurna atau teliti, sedangkan mutasyabih dari tasyabaha, serupa dan sama. Juga diartikan bahwa muhkan adalah lafal yang makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah sedangkan mutasybih adalah lafal yang mana lahirnya samar atau serupa dengan yang lain. Lebih jauh diartikan lagi bahwa kalimat muhkam adalah kalimat sempurna, kokoh dimengerti kata-katanya, jelas dan muidah dipahami ketentuannya. Kalimat mutasyabih adalah kalimat yangartinya mempunyai berbagai kemiripan dan kesamaan arti.
Makna muhkam-mutasyabih menurut ulama;
1.      Al-Zurqani – al-Syuyuthi; muhkam adalah ayat yang maksdunya tidak mengandung kemungkinan nasah, diketahui maknanya secara akal dan naqal sehingga diketahui makna yang rajih. Mutasybih adalah kata atau kalimat dalam al-Qur'an yang mengandung makna musytarak dan mubham (samar)
2.     al-Mawardi; muhkam adalah ayat yang dapat dipahami oleh akal seperti bilangan rakaat shalat, puasa ramadlan dalam al-Qur'an. Mutasyabih adalah sebaliknya.
3.     Ibnu Abbas berpendapat bahwa ayat muhkam adalah ayat yang tidak mungkin memunculkan kemungkinan makna dari sisi lain. Mutasyabih adalah ayat yang memiliki sisi arti banyak.
Contoh muhkam dan mutasyabih;
  1. Contoh ayat muhkam adalah ketentuan al-syiyam dalam;
..كتب عليكم الصيا م كما كتب علي الذين من قبلكم .
Lafal mutasyabih : وفا كهة و ابا ...lafal abba artinya rumput. Lafal abba seperti punya arti bapak, setelah dilihat lafal sesudahnya baru dapat diketahui artinya rumput.
  1. Mutasyabih berupa kalimat seperti : ويبقي وجه ربك ذو الجلا ل والإكرام
dan  الأية. يسئلو نك عن الأ هلة ...
  1. Fawatihu al-suwar; huruf-huruf tahaji pada awal surat termasuk ayat-ayat mutasyabihat.
  2. Masalah eskatologis, seperti surga, neraka, siksa dan nikmat yang ada di alam akhirat juga termasuk mutsyabihat.
Pendapat ualama tentang Muhkam dan Mutasyabih ;
  1. Madzhab salaf; lafal – ayat mutasyabih cukup diimani dan diserahkan hakikatnya kepada Allah swt. Contoh Tha ha  dan al-Rahmanu 'ala arsyi istawa.
  2. Madzhab khalaf; ayat mutasyabih dipahami melalui takwil, dengan demikian disebut sebagai madzhabmuaawwalah. Jadi ayat mutasyabihat diatasdiartikan; istiwa diartikan pengendalian Allah terhadap alam semesta tanpa merasa repot.Atau kemudian mutasyabih dimaknai secara majazi.
Sikap Ulama terhadap mutasyabih ;
Ayat-ayat mutasyabihat apakah hanya diketahui oleh Allah saja ataukah termasuk para ulama ?. Hal ini sejalan dengan komentar tentang ayat muhkam mutasyabih terdapat dalam surah ali-Imran ayat 6-7.
  1. Sebagian ulama seperti Abu Hasan al-As'ary, Abu Ishak al-Syairazy bahwa ulama mempunyai peran untuk mentakwilkan mutasyabihat, ini sejalan dengan komentar Mujahid. Ada riwayat dari Ibnu Abbas ia berkata : Aku diantara orang-orang yang mengetahui ayat-ayat mutasyabih tersebut.
  2. Imam al-Thabarany berpendapat bahwa hak takwil hanya semata-mata Allah sesuai haditsnya dari riwayat Abu Malik al-Asy'ary.
Hikmah ayat-ayat muhkam – mutasyabih;
  1. Mendorong upaya untuk mengungkap/mengkaji al-Qur'an, sehingga menambah wawasan bagi yang mendalminya.  Ayat-ayat muhkam memberi penjelasan pada manusia tentang berbagai persoalan hukum yang dibutuhkan yang bersifat substansi dan dasar. Disamping itu pada ayat-ayat mutasabihat memberi batasan secara langsung kepada manusia bahwa dibalik ayat-ayat mutasyabihat ada rahasia-rahasia yang tidak mampu diungkap oleh akal manusia.
  2. Ayat-ayat mutasyabih memberi peringatan secara langsung agar dalam menakwilkan ayat tersebut harus perpegang teguh pada norma-norma tafsir al-Qur'an. Otoritas tertinggi dalam pengetahuan mutasyabihat adalah hanya Allah semata. Disamping itu orang-orang yang rasikh fi al-'ilm dipuji-Nya, karena ketulusan hatinya karena Allah.
  3. Kemampuan indera manusia dibatasi oleh Allah, dan visualisasi tentang sifat-sifat Allah dalam ayat mutasabihat merupakan bagian dari abstrak ketuhanan. Disamping itu diinformasikan bahwa Allah tidk sama dengan benda-benda  apapun.
11. Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah;
        A. Tafsir
Tafsir berasal dari kata fassara – yufassiru – tafsiran yang artinya menerangkan dan menguraikan. Al-Jurjani menganggap bahwa tafsir berarti membuka dan menampilkan  (makna yang dikandung). Ulama Tafsir mendefinisikan tafsir sebagai beikut :
  1. Menurut al-Zarkasyi :
التفسير : علم يفهم به كتا ب الله المنزل على نبيه محمد ص .م وبيا ن معا نيه واستخراج أحكا مه وحكمه .
“Tafsir adalah ilmu yang dipergunsksn untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw serta menyajikan kandungan makna, hukum maupun hikmahnya”
  1. Menurut Al-Kilabi :
التفسير شرح القرأن وبيا ن معنا ه والإ فصا ح بما يقضيه بنصه أو إ شا ر ته أو نحوا .
“Tafsir adalah penjelasan tentang  al-Qur’an dan maknanya dan menjelaskan apa yang dimaksud dalam nash (teks), isyarat atau tujuannya”.
Contoh kitab Tafsir :
a)    Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Ibnu Jarir al-Thabary (w. 310 H/ 923 M), 
b)    Ma’alim al-Tanzil karya al-Baghawy ( w. 516 H/ 1122M),
c)    Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Ibnu Katsir (w. 774 H/1373 M) dan
d)    al-Durr al-Mansur fi al-Tafsir al-Ma’tsur karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H/ 1505 M).
B. Ta’wil
    Ta’wil secara bahasa bahasa berarti menerangkan, menjelaskan. Mana al-Qaththan dan al-Jurjani memahami takwi secara diartikan الرجوع إلي الأ صل   = kembali kepada pokoknya. Imam al-Zurqani berpendapat Ta’wil sama dengan Tafsir.
Makna Ta’wil secara etimologis menurut ulama tafsir :
  1. Menurut Iamam al-Jurjani :
التأ ويل : صرف اللفظ عن معناه الظا هر إلى معنا ه يحتمله إ ذا كا ن المحتمل الذى يراه موا فقا با الكتــا ب والسنة   .  
“Memalingkan makna lafal secara lahir, terhadap makna yang dikandungnya, jika makna yang sebanding itu dipandang sesuai dengan isyarat al-Qur’an dan al-Sunnah “.
  1. Menurut ulama salaf; Ta’wil adalah menjelaskan dan menafsirkan satu ungkapan al-Qur’an baik sesuai dengan makna lahir atau bahkan bertentangan.  Pengertian Ta’wil ini sama dengan makna Tafsit. Imam Thabary dalam kitab tafsirnya menggunakan istilah Ta’wil.
  2. Menurut ulama Khalaf; التأ ويل : صرف اللفظ عن المعني الرا جح إلي معنى المرجوح لد ليل بقترن به .
“Memalingkan satu lafal dari makna yang rajih (unggul) kepada makna yang marjuh (rendah) karena ada isyarat untuk itu “
Contoh al-Qur’an yang dita’wil (takwil) adalah ayat-ayat al-Qur’an yang di kupas dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’yi seperti :
a)    Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil( Pengetahuan tentang al-Qur’an dan hakikat-hakikat Ta’wil karya Mahmud al-Nasafi.
b)    Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil(Cahaya al-Qur’an dan Rahsia Takwil) karya al-Baidhawi.
c)    Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil (intisari Takwil tentang Makna al-Qur’an) karya al-Khazin.
C. Tarjamah
Tarjamah menurut bahasa adalah salinan dari satu bahasa kebahasa lain. Tarjamah juga dimanai mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari satu bahasa kebahasa lain. Tarjamah menurut Ali Al-Shshabuny adalah; “Memindahkan lafal al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak tarjamah ini ke dalam beberapa beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa Arabb sehingga ia dapat memahani kitab Allah swt dengan perantaraan itu.
Tarjamah ada tiga model :
1)     Tarjamah maknawi al-Tafsiri : tarjamah yag fungsinya menerangkan makna kata atau kalimat dan memberi syarah (kupasan) akan tetapi tidak terikat oleh kata dan bahasa, asalkan makna dan maksud tersebut menyentuh. Tarjamah seperti hampir dimaknai membuat sinonim-sinonim kata atau kalimat. Contoh Tafsir jalalain.
2)    Tarjamah harfiyah bi al-misli : menyalin dan mengganti kata-kata atau kalimat dari bahasa asli dengan sinonimnya (muradif) dengan kata-kata baru yang terikat oleh bahasa aslinya.
3)    Tarjamah harfiyah bi duni al-mitsli : menyalin atau mengganti  kata-kata atau kalimat al-Qur’an kebahasa lain dengan mempertimbangkan urutan makna maupun sastra, sesuai dengan kemampuan penerjemah.
Syarat-syarat Mutarjim (penterjemah) al-Qur’an :
a)     Mutarjim memahami bahasa al-Qur’an dan bahasa yang dipergunakan untuk tarjamah.
b)    Mutarjim menguasai uslub-uslub dan keistimewaan bahasa al-Qur’an.
c)     Hasil tarjamah sesuai dengan bahasa asli al-Qur’an.
d)    Hasil tarjamah mempunyai isi dan kandungan yang lengkap sesuai bahasa aslinya.

12. Manahij al-Tafsir (metodo-metodaPenafsiran al-Qur’an).

Seiring perjalanan waktu,ilmu tafsir terus berkembang dan jumlah kitab-kitab tafsir terus bertambah dalam beraneka corak. Para ulama tafsir belakangan kemudian memilah kitab-kitab itu berdasarkan metode penulisan ke dalam empat bentuk tafsir, yaitu: metode tahlili, ijmali,muqarin dan mawadhu’i.
A.  Al-Tafsir Al-Tahlili  (Tafsir dengan metode tahlili)
Tahlili berasal dari bahasa arab hallala-yuhallilu-tahlil yang berarti “mengurai, menganalisis”.Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutanbacaan yang terdapat di dalam al-Qur’an Mushaf 'Utsmani. Muhamad Baqir al-Sahdr nenyebutkan tafsir Metode Tahlili  ini dengan Tafsir Tajzi’i, yang secara harfiah berarti “Tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian, atau tafsir parsial”.
Di bandingkan dengan metode tafsir lainya, metode Tahlili atau Tajzi’i  adalah paling tua.Tafsir ini berasal sejak masa para sahabat NabiSAW. Pada mulanya berdiri dari tafsiran atas beberapa ayat saja, yang kadang-kadang mencakup penjelasan mengenai kosakata. Dalam perjalanan waktu, para ulama tafsir merasakan kebutuhan adanya tafsir yang mencakup seluruh isi al-Qur’an. Karena pada akhir abad ketiga dan awal abad ke -4 Hijrah (ke-10 M), ahli-ahli tafsir seperti Ibnu Majah, al-Thabari dan lain-lain lalu mengkaji keseluruhan isi al-Qur’an dan membuat model-model paling maju dari Tafsir Tahlili ini.
Dalam melakukan penafsiran, Mufasir (penafsir) memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat. Dalam menafsirkan al-Qur’an, Mufasir biasanya melakukan sebagai berikut:
a.    Menerangkan hubungan  (munasabah) baik antara satu satu ayat dengan ayat lain maupun antara satu surah dengan surah lain. Misalnya, dalam menafsirkan awal surah  Al-'Imran /3. Apabila mufasir menulis tafsirnya secara utuh satu mushaf, mulai dari surah al-fatihah/1 dan seterusnya, maka ketika ia memulai menafsirkan surah Al-'Imran /3, ia akan menjelaskan hubungan (munasabah)antara surah Al-Baqarah/2 dengan surah Al-'Imran/3, yang sedang ditafsirkan. Pembahasan mereka tentang hal ini dapat panjang lebar dan ada pula yang hanya singkat saja.
b.   Menjelaskan sebab-sebab turunya ayat (asbab al-nuzul).
c.    Menganalisis mufradat (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab. Untuk menguatkan pendapatnya, terutama dalam menjelaskan mengenai bahasa ayat bersangkutan, mufasir kadang-kadang juga mengutip syair-syair yang berkembang sebelum dan pada masanya.
d.   Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
e.    Menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan dan i’jaz-nya, bila dianggap perlu. Khususnya, apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung keindahan balaghah.
f.    Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat-ayat ahkam, yaitu berhubungan dengan persoalan hukum.
g.    Menerangkan makna dan maksud syara' yang terkandung dalam ayat besangkutan. Sebagai sandarannya, mufasir mengambil manfaat dari ayat-ayat lainya, hadis Nabi SAW, pendapat para sahabat dan tabi’in, di samping ijtihad mufasir sendiri.

Apabila tafsir bercorak al-tafsir al-ilmi (penafsiran dengan ilmu pengetahuan), atau al-tafsir al-adani al- ijtima’i musafir biasanya mengutip pendapat para ilmuan sebelumnya, teori-teori ilmiah modern, dan lain sebagainya.
Melihat aspek-aspek yanng dibahas dalam tafsir tahlili, dapat di pahami bahwa penafsiran dengan metode ini sangat luas dan menyeluruh. Metode tafsir tahlili digunakan sebagaian besar musafir pada masa lalu dan masih terus berkembang pada masa sekarang. Yang diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini, ada yang di tulis dengan sangat panjang, seperti kitab tafsir karya al-Alusi, Fakhar al-Din al-Razi dan Ibn Jarir al-Thabari; dan ada pula yang ditulis dengan ringkas, tetapi jelas dan padat, seperti kitab Tafsir al-Jalalayn karya Jalal al-Din Suyuthi dan Jalal al-Din al- Mahalli, dan kitab tafsir yang ditulis Muhamad Faid Wajdi.[i]
Dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat pada tafsir tahlili yang jumlahnya sangat banyak, dapat dikemukakan pakpling tidak ada tujuh metode tafsir, yaitu :[ii]
1.     Al- Tafsir bi Al-Ma’tsur
Al-Tafsir bi Al- Ma’tsur secara harfiyah berarti penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu, tafsir ini dinamakan juga dengan al-tafsir bi al-riwayah (tafsir dengan riwayat) atau al-tafsir bi al-manqul (tafsir dengan menggunakan pengutipan (riwayat). Penafsiran dalam corak ini dapat di bagi menjadi empat bentuk yaitu:
a.     Penafsiran ayat al-qur’an dengan ayat lain
Ayat-ayat al-qur’an, menurut para ahli tafsir, saling menafsirkan antar sesama.penafsiran satu ayat dengan ayat yang lain juga bermacam-macam yaitu:
Pertama,ayat atau ayat-ayat lain menjabarkan apa yang di ungkapkan pada ayat tertentu. Misalnya kata-kata al-mutaqin (orang-orang bertaqwa) dalam ayat 1 Surah al-Baqaroh, di jabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5)yang menyatakan:
tûïÏ%©!$#tbqãZÏB÷sãƒÍ=øtóø9$$Î/tbqãKÉ)ãƒurno4qn=¢Á9$#$®ÿÊEuröNßg»uZø%yutbqà)ÏÿZãƒÇÌÈ
tûïÏ%©!$#urtbqãZÏB÷sãƒ!$oÿÏ3tAÌRé&y7øs9Î)!$tBurtAÌRé&`ÏBy7Î=ö7s%ÍotÅzFy$$Î/urö/ãftbqãZÏ%qãƒÇÍÈ
y7Í´¯»s9'ré&4n?tãWèd`ÏiBöNÎgÎn/§(y7Í´¯»s9'ré&urãNèdšcqßsÎ=øÿßJø9$#ÇÎÈ

"Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung."
Kedua, ada informasi tertentu, misalnya tentang kisah Nabi Musa, pada surah tertentu diungkapkan secara singkat, sementara pada surah lain secara panjang lebar. Dalam hal ini ayat-ayat yang mengandung informasi yang lebih ringkas.[iii]
Ketiga, ayat-ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mubayyan, ayat-ayat yang muthlaq ditafsirkan oleh ayat-ayat yang muqayyad, dan ayat-ayat yang ‘am ditafsirkan oleh ayat-ayat yang khash. Ringkasanya, ayat-ayat yang mengandung pengertian umum dan global ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mengandung pengertian khusus dan rinci.
Keempat, informasi yang terkandung dalam satu ayat kadang kadang terlihat berbeda dengan informasi yang terdapat pada ayat-ayat lain. Penafsiran ayat-ayat itu dilakukan dengan mengkompromikan pengertian-pengertian tersebut.
b.     Penafsiran ayat al-Qur’an dengan hadis Nabi SAW
Di samping al-Qur’an, otoritas dalam penafsiran al-Qur’an terletak di tangan Nabi Muhamad SAW. Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus untuk menjelaskan wahyu al-Qur’an yang diturunkan kepadanya. Sebagaimana diungkapkan dalam hadis dari ‘Aisyah,” Khuluquhu al-Qur’an” (Akhlak Nabi itu [sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam] al-Qur’an). Karena itu,hadis Nabi– yang terdiri atas perkataan, perbuatan, dan ketetapannya– dijadikan para mufasir sebagai bahan penting untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
c.    Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat para shahabat
Para ulama berpendapat bahwa setelah Nabi Saw wafat, orang yang paling memahami al-Qur’an adalah generasi shahabat, karena mereka hidup pada masa al-Qur’an masih diturunkan, bergaul dengan Nabi yang paling paham dengan isi al-Qur’an, serta mengetahui konteks sosial ketika al-Qur’an turun. Karena itu, pendapat-pendapat para shahabat dijadikan oleh para ulama tafsir sebagai bahan penting dalam menafsirkan al-qur’an.
d.    Penafsiran al-Qur’an dengan pendapat para tabi'in
Setelah generasi shahabat, orang yang paling mengetahui kandungan al-Qur’anadalah generasi tabi’in, karena mereka bergaul dengan para shahabat. Pendapat-pendapat mereka dipandang sangat membantu generasi selanjutnya dalam memahami al-Qur’an. Perkembanmgan metode tafsir ini dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode lisan, ketika penafsiran dari Nabi saw dan para sahabat disebarluaskan secara periwayatan, dan periode tulisan, ketika riwayat-riwayat yang sebelumnya tersebar secara lisan itu mulai dibukukan.[iv]
Di antara kitab-kitab tafsir yang dapat di kategorikan sebagai al-tafsir bi al-ma’tsur adalah Jami' al-Bayan fi tafsir al-Qur’an al-Karim karya Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H/923.M), Ma’alim al-Tanzil karya al-Baghawi (w. 516 H/ 1122 M), Tafsir al-Qur’an al-Karim (Tafsir Ibn Katsir) karya Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir (w 774 H/ 1373 M ) dan al-Durr al-Manshur Fi’al-Tafsir Al-Ma’tsur karya Jalal al-Din Al-Suyuti (w 911 H/1505 M).
2.     Al-Tafsir Bi Al-Ra’yi
Al-Tafsir bi Al Ra’yi (penafsiran dengan rasio) adalah penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak. Tafsir corak ini dinamakan juga dengan al-tafsir bi al-ijtihad atau al-tafsir al ijtihadi, yaitu penafsiran yang menggunakan ijtihad. Karena penafsiran dengan corak ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufasir, perbedaan-perbedaan antara satu musafir dengan musafir lain lebih mungkin terjadi, dibandingkan dengan al-tafsir bi al-ma’tsur. Karena alasan itu, beberapa ulama menolak penafsiran corak ini, dan menyebutnya sebagai al-tafsir bi al-hawa, tafsir atas dasar hawa nafsu.Namun, banyak pula ulama yang dapat menerima tafsir corak ini,dengan syarat-syarat tertentu. Penerimaan mereka berdasarkan atas ayat-ayat al-qur’an sendiri, yang menurut mereka, memang menganjurkan manusia untuk memikirkan dan memahami kandunganya. Ayat-ayat yang mendukung kebolehan tafsir corak ini, sebagaimana dikutip Shubhi al-Shalih, adalah sebagai berikut.[v]
Ÿxsùr&tbr㍭/ytGtƒšc#uäöà)ø9$#ôQr&4n?tãA>qè=è%!$ygä9$xÿø%r&ÇËÍÈ
"Apakah mereka tidak meperhatikan al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?" (Q.s. Muhammad/47 : 24)
ë=»tGÏ.çm»oYø9tRr&y7øs9Î)Ô8t»t6ãB(#ÿr㍭/£uÏj9¾ÏmÏG»tƒ#uät©.xtFuŠÏ9ur(#qä9'ré&É=»t6ø9F{$#ÇËÒÈ
"Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, agar medreka memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang mempunyai pikiran dapat memperoleh ajaran darinya". (Q.s. Shad/38 : 29)

Perlu juga dijelaskan, meskipun mufasir dalam corak ini melakukan penafsiran berdasarkan pemikiran, namun ia tidaklah bebas mutlak. Mufasir harus bertolak dari pemahamanya terhadap nilai-nilai yang dikandung al-Qur’an dan sunnahNabi Saw. Tetapi pemahaman terhadap nilai dan kandungan al-Qur’an dan sunnah saja menurut para ulama tidak cukup untuk menjamin kebenaran tafsir bi al-ra’yi ini. Karena itu, dalam penggunaan corak tafsir ini diberlakukan syarat-syarat mufasir ini antara lain:(1) memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab dan segala seluk-beluknya; (2) menguasai ilmu –ilmu al-Qur’an; (3) menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an, seperti hadis dan ushul fikih; (4) berakidah yang benar; (5) mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam, dan  (6) menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasa ayat yang ditafsirkan. Tidak terpenuhinya syarat-syarat ini dapat menyebabkan seorang mufasir terperosok ke dalam kesalahan, sehingga penafsiranya tidak dapat diterima.[vi]
Di samping syarat-syarat itu, Ali Hasan al-Arid, misalnya, menyebutkan enam hal yang harus dihindari mufasir yang ingin menggunakan corak ini. Keenam hal tersebut adalah sebagai berikut:[vii]
a)    Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sementara ia sendiri tidak mengetahui syarat untuk itu;
b)    Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya yang hanya diketahui Allah;
c)    Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an karena dorongan hawa nafsu dan sikap istihsan (penetapan hukum suatu perkara tidak berdasarkan alasan hukum yang tepat menurut nas)
d)    Menafsirkan ayat-ayat menurut makna yang tidak dikandungnya;
e)    Menafsirkan ayat untuk mendukung aliran atau mazhab sesat tertentu, dengan cara menjadikan paham aliran atau mazhab bersangkutan sebagai dasar dan penafsiranya mengikuti paham aliran atau mazhab tersebut;
f)    Menafsirkan ayat-ayat disertai dengan kepastian bahwa makna itulah yang dikehendaki Allah tanpa dukungan dalil-dalil. Dengan kata lain, memutlakan pendapatnya sendiri dan menyalahkan pendapat lain.

Pendapat ini didukung pula oleh ulama tafsir lainya yaitu Abd al-Hayy al-Farmawi. Menurut al-Farmawi, apabila mufasir tidak berhasil apalagi tidak berusaha menghindari hal-hal tersebut, maka penafsiranya tidak dapat diterima.[viii]
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan corak al-tafsir bi al-ra’yi adalah: Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil (pengetahuan tentang al-Qur’an dan hakikat-hakikat takwil) karya Mahmud al-Nasafi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (cahaya al-Qur’an dan rahasia Ta'wil) karya al-Baidhawi, Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil (intisari takwil tentang makna al-Qur’an) karya al-Khazin, Mafatih al-Ghaib (kunci kegaiban) karya Fakhr al-Din al-Razi, dan Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an wa al-Sab’ al-Matsani (Semangat makna tafsir al-Qur’an dan al-Fatihah) karya al-Alusi.
3.     Al-Tafsir al-Fiqhi
Al-Tafsir al-Fiqhi adalah tafsir yang berorientasi atau memusatkan perhatian kepada fikih (hukum islam). Karena itu, para mufasir corak ini biasanya adalah ahli fikih yang berusaha memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan hukum islam. Tidak heran apabila tafsir dalam bentuk ini berpanjang lebar  ketika menafsirkan apa yang disebut dengan ayat ahkam (ayat-ayat al-qur’an yang berkaitan dengan persoalan hukum), bahkan sering kali mereka hanya menafsirkan  ayat ahkam tersebut.
Tafsir ini muncul bersamaan dengan munculnya al-tafsir bi al-ma’tsur, karena dalam membina masyarakat islam di madinah, nabi mendapat banyak sekali  pertanyaan dari para shahabat berkenaan dengan persoalan hukum. Jawaban-jawaban nabi tersebut kemudian secara lisan diriwayatkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Setelah nabi muhamad saw wafat, para shahabat juga banyak melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum-hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara baru. Ijtihad tersebut dimaksudkan untuk mejawab persoalan-persoalan yang belum muncul pada masa rosulullah dan tidak pula terdapat hadis syang membicarakanya. Demikian pula pada generasi shahabat. Pendapat-pendapat para shahabat dan para tabi’in kebanyakan berkenaan dengan persoalan hukum. Pembukuan al-tafsir al-fiqhi ini terjadi pada abad ke 2 H, tetapi sejalan dengan perkembangan fikih sendiri  tafsir dalam bentuk ini berkembang pesat setelah lahirnya mazhab-mazhab fikih.
Dalam perkembangan selanjutnya, para ulama pengikut mazhab tertetu menafsirkan ayat-ayat ahkam(hukum)dalam al-qur’an sesuai dengan teori istinbath (penetapan) hukum yang berlaku di dalam mazhabnya. Bahkan tidak jarang terjadi para mufasir corak ini memaksakan penafsiran al-qur’an mengikuti paham mazhab yang diantaranya. Dengan kata lain, mereka menafsirkan ayat al-qur’an untuk membenarkan pandangan madzhab yang mereka anut dengan mencoba menyelesaikan al-qur’an dengan pendapat madzhab mereka sendiri.
            Diantara kitab-kitab tafsir corak ini adalah ahkam al-Qur’an (hukum al-Qur’an ) karya Abu Bakar Ahmad ibn ‘Ali al-Razi yang di kenal dengan al-Jashshash (w. 370 H/980M ), Ahkam al-Qur’an (hukum al-Qur’an) karya Ibn al-'Arabi (w. 543 H/11`48 M), al-Kasysyaf (Penyelidikan) karya al-Zmakhsyari, Ruh al-Ma'ani (Semangat Makna) karya al-Alusi, Tafsir al-Nasafi (Tafsir Nasafi) karya al-Naafi (mazdhab Hanafi), al-Jami' li al Ahkam al-Qur'an (Himpunan Hukum-hukum al-Qur'an) karya Abu Abd Allah Muhammad ibn Ahmad Bakar ibn Farh al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M ) (mazdhab Maliki), dan Tafsir al-Kabir (Tafsir Besar) atau Mafatih al-Ghaib (Kunci Kegaiban) karya Fakhr al-Din al-Razi (mazdhab Syafi'i).
4.     Al-Tafsir al-Shufi
Al-Tafsir al-Shufi adalah tafsir yang ditulis para sufi. Sesuai dengan pembagian dalam dunia tasawwuf, tafsir dalam bentuk ini juga terbagi menjadi dua : tafsir yang sejalan dengan al-tashawwuf al-nazhari dinamakan al-Tafsir al-Nazhari dan tafsir yang sejalan dengan al-tashawwuf al-'amali dinamakan dengan al-Tafsir al-Faidhi atau al-tafsir al-isyari.[ix]
a)      Al-Tafsir al-Shufi al-Nazhari
Para sufi nazari berpendapat bahwa pengertian harfiah al-Qur'an bukan pengertian yang dikehendaki, karena yang dikehendaki adalah pengertian batin. Sebab itu mereka sering menggunakan takwil untuk menyesuaikan pengertian ayat-ayat al-Qur'an dengan teori-teori tasawuf yang mereka anut. Menurut al-Farmawi,[x] para sufi nazari seringkali memaksakan diri untuk memahami dan menerangklan al-Qur'an dengan penjelasan yang menyimpang dari makna lahir ayat, makna yang sudah dikuatkan oleh syari'at dan benar menurut bahasa. Sebagai contoh, ketika menafsirkan Q.s. al-Fajr/89 : 29-30 :
Í?ä{÷Š$$sùÎûÏ»t6ÏãÇËÒÈÍ?ä{÷Š$#urÓÉL¨Zy_ÇÌÉÈ
"Masuklah engkau (nafsu muthmainnah) ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga_ku".
Muhy al-Din ibn al-'Arabi, penggagas konsepsi wahdah al-wujud mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan "surga" pada ayat ini adalah diri sendiri. Karena dengan memasuki diri sendiri seseorang mengenal dirinya, dan dengan mengenal diri sendiri itu, ia akan mengenal Tuhannya; dan keadaan terakhir ini merupakan puncak kebahagiaan (surga) bagi manusia.[xi]
Karena para sufi nazari menganggap bahwa hanya penafsiran yang mereka lakukanlah yang benar, sementara penafsiran yang lain dianggap salah, maka penafsiran nazari ini tidak bisa diterima para ulama tafsir, kecuali dalam batas-batas tertentu yang sangat sempit.[xii]
Berkenaan degan karya-karya tafsir sufi nazari ini, al-Dzahabi, sebagaimana dikutip[ Fahd ibn 'Abd al-Rahman ibn Sulaiman al-Rumi, berkata : " Demikianlah, saya belum mendengar bahwa seseorang telah mengarang sebuah kitab khusus yang mebhasa al-Tafsir al-Shufi al-Nazari, yang menggunakan sistematika al_qur'an ayat demi ayat. Yang kita dapatkan hanyalah karangan-karangan terpisah mengandung penafsiran seperti itu, yang biasa disandarkan kepada karya Ibn 'Arabi yang berjudul al-futuhat al-Makkiyah dan Kitab Fushush al-Hikam."[xiii]

a).   Al-Tafsir al-Isyari atau al-Tafsir al-Faidhi
Adapun Tafsir al-Isyari yang biasa juga disebut al-Tafsir al-Faidhi adalah tafsir yang berusaha menakwilkan ayat-ayat al-Qur'an berdasarkan isyarat-isyarat terembunyi yang, menurut para sufi, hanya diketahui oleh para sufi ketika mereka melakukan suluk. Karena tafsir ini sejalan dengan tasawwuf 'amali, maka corak tafsir ini mengacu kepada amaliah praktis umumnya kaum sufi, seperti kehidupan sederhana, melakukan banyak ibadah, zuhud dan sebagainya.
         Menurut para ulama tafsir, banyak sekali kesalahan dan penyimpangan yang terjadi dalam tafsir sufi. 'Abd al-Hayy al-Farmawi mengatakan bahwa tafsir semacam ini hanya dapat diterima apabila :
a.     Tidak bertentangan dengan zahir ayat.
b.     Terdapat syahid syar'I yang menguatkannya.
c.     Tidak bertentangan dengan syariat dan akal sehat, dan
d.     Mufasirnya tidak menganggap bahwa penafsirannya itu merupakan satu-satunya tafsir yang benar, tetapi juga harus mengakui terlebih dahulu pengertian zahir ayat.
Di antara kitab-kitab tafsir yang dapat digolongkan sebagai kitab tafsir sufi adalah : Tafsir al-Qur'an al-'Azhim (tafsir al_qur'an yang Agung) karya Abu Muhammad Sahal ibn 'Abd Allah ibn Yunus ibn 'Isa ibn 'Abd Allah al-Tusturi (w. 283 H/896 M), Haqa'iq al-Tafsir (Hakikat-hakikat Tafsir) karya Abu 'Abd al-Rahman Muhammad ibn al-Husain ibn Musa al-Uzdi al-Salmi (w. 412 H/1021 M), dan al-Bayan fi Haqa'iq al_qur'an (Penjelasan tentang Hakikat-hakikat al-Qur'an) karya Abu Muhammad Ruzbahan ibn Abi al-Nasr al-Baqli al-Syirazi (w. 666 H/1268 M).
5.     Al-Tafsir al-Falsafi
Al-Tafsir al-Falsafi adalah tafsir yang membahas persoalan-persoalan filsafat, baik yang menerima pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang berkembang di dunia Islam seperti Ibn Sina dan al-Farabi maupun yangmenolak pemikiran filafat itu. Dengan lain perkataan, tafsir filsafat adalah tafsir ayat-yat al-Qur'an yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Sebenarnya orang yang menerima filsafat Yunani tidak ada yang menulis tafsir secara utuh, dalam pengerian menafsirkan satu mushaf al-Qur'an. Mereka hanya menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam al-Qur'an yang berhubungan dengan teori-teori filsafat, dan tafsir mereka itu tertuang dalam berbagai karya filsafat mereka. Lain halnya dengan ulama yang menolak pemikiran filsafat Yunani, di antara mereka ada yang menulis tafsir dalam sebuah kitab tafsir, di samping ada dalam karya-karya lain. Mereka yang disebut terakhir ini, meski menolak pemiiran filsafat, adalah orang-orang yang dapat dikatakan menguasai pemikiran filsafat. Contoh yang paling terkenal adalah Imam al-Ghozali. Tokoh lainnya adalam Imam Fakhr al-Din al-Razi yang menulis sebuah kitab tafsir yang menolak pmikiran filsafat. Kiotab tafsirnya, seperti yang telah disebutkan berjudul Mafatih al-Ghaib. Adapun ulama Islam yang membela pemikiran fisafat adalah Ibn Rusyd, seorang filosof terkenal, berasal dari Spanyol Islam. Dia menulis pembelaannya sebagai sanggahan terhadap karya Imam al-Ghozali yang berjudul Tahafut al-Falasifah.
6.     Al-Tafsir al-'Ilmi
Al-Tafsir al-'Ilmi adalah penafsiran al-Qur'an dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat al-Qur'an yang ditafsirkan dengan menggunakan corak ini terutama adalah ayat-ayat al-kawniyah (ayat-ayat yang berkenaan dengan [kejadian] alam). Dalam menafsirka ayat-ayat tersebut, mufasir melengkapi dirinya dengan teori-teori sains. Karena itu al-Tafsir al-'Ilmi dapat didefinisian sebagai "ijtihad atau usaha keras mufasir untuk mengungkap hubungan ayat-ayat kauniyah di dalam al-Qur'an dengan penemuan-penemuan ilmiah yang bertujuan untuk memperlihatkan kemukjizatan al-Qur'an."
Perintah untuk menggali pengetahuan berkenaan dengan tanda-tanda Allah pada alam semesta memang banyak dijumpai di dalam al-Qur'an. Inilah alasan yang mendorong para mufasir corak ini untuk menulis tafsirnya.
Pada masa sekarang, tafsir bentuk ini berkembang menjadi tafsis mawdhu'i. ayat-ayat al-Qur'an dipilih dan dipilah kedalam beberapa disiplin ilmu, kemudian ditafsirkan berdasarkan teori-teori ilimiah.
Diantara kitab-kitab yang dapat dikategorikan sebagai al-Tafsir al-'Ilmi adalah Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Razi, Ihya' Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama) dan Jawahir al-Qur'an (Mutiara-mutiar al-Qur'an) karya Imam al-Ghozali, serta al-Itqon fi 'Ulum al-Qur'an (Elaborasi Ilmu-ilmu al-Qur'an) karya Jalal al-Din Suyuthi, al-Islam Yatahadda (Islam Menantang) karya Wahid al-Din Khan, Sunan Allah al-Kawniyyah (Hukum Allah pada Alam) karya Dr. Muhammad Ahmad al-Ghamrawi, al-Ghidza' wa al-Dawa' (Gizi dan Obat) karya Dr Jamal al-Din al-Fandi, al-Qur'an wa al-'Ilm al-Hadits (al-Qur'an dan Ilmu Pengetahuan Modern) karya 'Abd al-Razzaq Naufal, dan al-Tafsir al-'Ilm li al-Ayat al-Kawniyah fi al-Qur'an al-Karim (Tafsir Ilmiah bagi Ayat-ayat tentang Alam dalam al-Qur'an) karya Hanafi Ahmad.
a.     Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima'i
Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima'i adalah suatu cabang tafsir yang baru muncul pada masa modern. Menurut Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima'i adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur'an, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Dalam corak tafsir ini, mufasir tak berpanjang lebar dengan pembahasan pengertian bahasa yang rumit. Bagi mereka, yang penting adalah bagaimana misi al-Qur'an sampai kepada pembaca. Dalam penafsirannya, teks-teks al-Qur'an dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat, tradisi sosial dan sistem peradaban, sehingga dapat fungsional dalam memecahkan persoalan. Dengan demikian mufasir berusaha mendiagnosa persoalan-persoalan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, untuk kemudian mencarikan jalan keluiar berdasarkan petunjuk-petunjuk al-Qur'an, sehingga dirasakan bahwa ia selalu sejalan dengan perkembangan zaman dan manusia. Muhammad Abduh, tokoh pembaharu terkenal asal Mesir, dipandang sebagai pelopor kebangkitan tafsir corak ini. Kitab tafsirnya, al-Manar, ditulis bersama teman dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha. Di samping kitab tafsir yang ditulis dua tokoh pembaharu Islam itu, karya yang dapat dikategorikan sebagai kitab Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima'i adalah Tafsir al-Qur'an (tafsir al-Qir'an) karya al-Maraghi, Tafsir al_Qur'an al-Karim (Tafsir al-Qur'an yang Mulia) karya Mahmud Syaltut, dan Tafsir al-Wadhih (Tafsir yang Terang) karya Muhammad Mahmud Baht al-Hijazi.
B.   Al-Tafsir al-Ijmali (Tafsir dengan Metode Ijmali/Global)
Yang dimaksud dengan al-Tafsir al-Ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an engan cara mengemukakan makna global.
Dengan metode ini mufasir menjelaszkan makna ayat-ayat al-Qur'an secara garis besar. Sistematikanya mengikuti urutan surah-suirah al-Qur'an, sehingga makna-maknanya dapat saling berhubungan. Dalam menyajikan makna-makna ini mufasir menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur'an sendiri dengan menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat penghubung, sehingga memberi kemudahan kepada para pembaca untuk memahaminya. Dengan kata ;lain, makna yang diungkapkan itu biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui jumur ulama, dan mudah dipahami orang.
Karena mufasir menggunakan lafal-lafal bahasa yang mirip, bahkan sama dengan lafal al-Qur'an, pembaca akan meraakan bahwa uraian muifasir tidak jauih dari bahasa dan lafal-lafal al-Qur'an sendiri. Di samping itu, dengan gaya demikian, sangat terkesan bahwa al-Qur'an itu sendiri yang berbicara, yang membuat makna-makna dan maksud ayat menjadi jelas, sehingga lafal-lafal al-Qur'an itu menjadi jelas dan mudah dipahami.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an degan metode ini, mufasir juga meneliti, mengkaji, dan menyajikan asbab al-nuzul atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti hadits-hadits yang berhubungan dengannya.
Kitab tafsir yang disusun dengan metode ono antara lain ialah Tafsir al-Qur'an al-Karim (Tafsir al-Qur'an yang Mulia) karya Muhammad Farid Wajdi, seorang mufasir kontemporer dan al-Wasith (Tafsir Pertengahan) karya Tim Majma' al-Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Penelitian Islam).
C.   Al-Tafsir al-Muqarrin (Tafsir dengan metode Komparatif)
Sesuai dengan namanya, al-Tafsir al-Muqarin adalah tafsir yang menggunakan cara perbandingan (komparasi). Objek kajian tafsir dengan metode ini dapat dikelompokan kepada tiga, yaitu :
a)    Perbandingan ayat Al-Qur'an dengan ayat lain
Mufasir mambandingkan ayat Al-Qur'an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasusus yang (diduga) sama. Perlu ditegaskan bahwa obyek kajian metode tafsir ini hanya terletak pada persoalan redaksi ayat-ayat al-Qur'an, bukan dalam bidang pertentangan makna pertentanan makna di antara ayat-ayat al-Qur'an di bahas dalam 'ilm al –nasikh  wa al-masukh
            Didalam al-Qur'an ditemukan banyak  ayat yang meiliki kemiripan redaksi atau lafal, tersebar di berbagai surah. Kemiripan itu dapat terjadi dalam berbagai bentuk yang menyebabkan adanya nuansa makan tertentu, misalnya perbedaan dalam susunan kalimat. Nuansa makna tertentu, Misalnya perbedaan dalam susunan kalimat.
            Al-Zarkasyu mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat- ayat al-Qur'an sebagai berikut :
b)    Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
3ö@è%žcÎ)yèd«!$#uqèd3yçlù;$#3
 “Katakanlah ; Sesungguhnya petunjuk Allah itulah ( yang sebenarnya ) petunjuk " (Q.S Al-Baqarah/ 2 : 120 )
3ö@è%žcÎ)yèd«!$#uqèd3yßgø9$#

“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk ( yang harus diikuti ) ialah petunjuk Allah "(Q.S AL-An'am / 3 : 71 )
c)    Petunjuk dan penambahan huruf seperti :
¨íä!#uqyóOÎgøŠn=tæöNßgs?öxRr&uä÷Pr&öNs9öNèdöÉZè?ŸwtbqãZÏB÷sãƒ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman : "(Q.S al- Baqarah 2/6)
íä!#uqyuröNÍköŽn=tãöNßgs?öxRr&uäôQr&óOs9öNèdöÉZè?ŸwtbqãZÏB÷sãƒ
“Dan sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman " (Yasin/ 36 : 10 )
d)    Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
(#qè=÷FtƒöNÍköŽn=tã¾ÏmÏG»tƒ#uäöNÍkŽÏj.tãƒurãNßgßJÏk=yèãƒur|=»tGÅ3ø9$#spyJõ3Ïtø:$#ur

”yang membaca ke pada mereka ayat-ayat engkau, dan mengajarkan ke pada mereka al-kitab (al-qur'an) dan al-hikmah serta mensucikan mereka." (Q.s.al-jumu'ah/62:2)
e)    Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma'rifah (definte noun),seperti:
õÏètGó$$sù«!$$Î/(¼çm¯RÎ)uqèdßìŠÏJ¡¡9$#ÞOŠÎ=yèø9$#
"mohonkah perlindumhan ke pada allah.sesungguhnya dialah yang maha mendengar lagi maha mngetahui." (Q.s. fushshilat/41:36).
õÏètGó$$sù«!$$Î/4¼çm¯RÎ)ììÏJyíOŠÎ=tæ
“Mohonkanlah perlindungan ke pada allah.sesungguhnya dia maha mendengar lagi maha mengethui." (Q.s al-A'raf/7:200).
f)    Perbedaan bentuk jamak dan bentuk tunggal.seperti:
(`s9$uZ¡¡yJs?â$¨Y9$#HwÎ)$YB$­ƒr&ZoyŠrß÷è¨B

"….kami sekali-kali tidak akan di sentuh oleh api neraka,kecuali beberapa hari saja." (Q.s al-Baqarah /2:80).
`s9$oY¡¡yJs?â$¨Y9$#HwÎ)$YB$­ƒr&;NºyŠrß÷è¨B
"…kami sekali-kali tidak akan di sentuh oleh api neraka,kecuali selama beberapa hari yang dapat di hitung."(Q.s alu'imran /3:24).
g)    Perbedaan penggunaan huruf kata depan,seperti:
øŒÎ)ur$oYù=è%(#qè=äz÷Š$#ÍnÉ»ydsptƒós)ø9$#(#qè=à6sù
"dan (ingatlah) ketika kami berfirman:masuklah kamu ke negeri ini,maka makanlah…"(Q.s al-baqarah/2:58).
øŒÎ)urŸ@ŠÏ%ãNßgs9(#qãZä3ó$#ÍnÉ»ydsptƒös)ø9$#(#qè=à2ur
" dan (ingatlah) ketika kami berfirman:masuklah kamu ke negeri ini,dan makanlah…."(Q.s al-A'raf/7:161)
h)    Perbedaan penggunaan kosa kata,seperti:
(#qä9$s%ö@t/ßìÎ6®KtR!$tB$uZøxÿø9r&Ïmøn=tã!$tRuä!$t/#uä
"mereka berkata:tdak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami " (Q.s al-baqarah/2:170).
(#qä9$s%ö@t/ßìÎ7®KtR$tB$tRôy`urÏmøn=tã!$tRuä!$t/#uä
"mereka berkata: tidak,tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah  kami dapati (wajadna) dai (perbuatan) nenek moyang kami" (Q.s luqman/31:21).
i)     Perbedaan perbedan idgham (memasukan suatu huruf ke huruf lain),seperti:
y7Ï9ºsŒöNåk¨Xr'Î/(#q%!$x©©!$#¼ã&s!qßuur(`tBurÉe-!$t±ç©!$#¨bÎ*sù©!$#߃Ïx©É>$s)Ïèø9$#
"yang demikian itu adalah karna sesungguhnya mereka menantang allah dan rosul-nya.barang siapa menantang (yusyaqq) allah,maka sesungguhnya allah sangat keras hukum-nya."(Q.s al-hasyr/59:4)
šÏ9ºsŒöNßg¯Rr'Î/(#q%!$x©©!$#¼ã&s!qßuur4`tBurÈ,Ï%$t±ç©!$#¼ã&s!qßuur
 cÎ*sù©!$#߃Ïx©É>$s)Ïèø9$#ÇÊÌÈ
"yang demikian ini adalah karna sesungguhnya mereka menantang (yusyaqq) allah dan rosul-nya, maka sesungguhnya allah sangat keras hukuman-nya."(Q.s al-anfal/8:13).

         Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi di atas di temuh beberapa langkah : (1) menginventarisasi ayat-ayat Al-qur'an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus bereda ; (2) megelompkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya ; (3) meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya denga kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangutan ; dan (4) melaukan perbandingan.
Perbedaan-perbedaan redaksi yang menyebabka adanya nuansa perbedaan makna seringkali disebabka prbedaan konteks pembicaraan ayat dan konteks turunnya ayat bersankutan. Karena itu, ilm al-munasabah dan ilm asbab al-nuzul  sangat membantu melakukan al-tafsir al-muqarin dalam hal perbedaan ayt tertentu denan ayat lain. Namun, esensi nilainya pada dasarnya tidak berbeda.
  1. Perbandingan  Ayat  al- qur'an dengan hadist
            Musafir membandingkan ayat-ayat al-qur'an dengan hadis Nabi Saw yang terkesan bertetangan. Diantara hadis-hadis Nabi menmang ada yang terkesan bertentangan atau berbeda dengan ayat-ayat al-qur'an. Mufasir berusaha menemukan kompromi antara keduanya.
            Dalam melakukan perbandingan ayat al-Qur'an dengan hadis yang terkasan berbeda atau bertentangan ini, langkah  pertama yang harus ditempuh adalahmenentukan nilai hadis yang akan diperbandingkan dengan ayat al-Qur'an. Hadis ini haruslag sahih. Hadis dhaif tidak diperbandingkan karena, di samping nilai otentisitasnya rendah, dia justru semakin tertolak karena pertentangannya dengan ayat al-Qur'an. Seyelah itu mufasir melakukan analisis terhadap latar belakang terjadinya perbedaan atau pertentagan antara keduanya.
Contohnya adalah perbedaan antara ayat al-Qur'an surah al-Nahl/16: 32 dengan hadis riwayat Tirmidzi di bawah ini:
(#qè=äz÷Š$#sp¨Yyfø9$#$yJÎ/óOçFYä.tbqè=yJ÷ès?
      " Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang kamu kerjakan." ( Q.s. al-Nahl/16: 32 ).
لن يد خل احد كم الجنة بعلمه (رواه الترمذى)
"Tidak akan masuk seorangpun diantara kamu ke surga disebabkan perbuatannya." (HR. Timidzi)
Antara ayat al-Qur'an dan hadis di atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara.
            Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadis, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatan, tetapi karena ampunan dan ramat tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak di sahkan, karena menurutny, amal perbuatan manusia menenkan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga di tentukan amal perbuatanya. Pengertian ini sejalan denga hadis lain, Yaitu:

ان اهل الجنة اذا د خلوها نزلوا فيها بفضل عليهم (رواه الترمذى)

” Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatanya." ( H.r. Tirmidzi ).
            Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba'  pada ayat di atas konotasinya drngan yang ada pada hadis tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadis berarti sebab.
            Dengan penafsiran dan penjelasan seperti itu, maka kesan kontradiksi antara ayat al-Qur'an dan hadis di atas dapat dihilangkan.
3 Perbandingan penafsiran mufasir dengan mufasir lain
            Mufasir mrmbandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, baik yang bersifat manqul( lihat al-tafsir al-ma'tsur) maupun yang bersifat ra'yu (lihat al-tafsir bi al-ra'yi).
            Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an tertentu ditemukan adanya perbedaan diantara ulama tafsir. Perbedaan ini dapat terjadi karena perbedaan asil ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan, dan sudut pandang masing-masing.
            Manfaat yang dapat diambil dari metode rafsir ini adalah (1) membuktian katelitian al-Qur'an, (2) membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur'an yang kontradiktif, (3) memperjelas makna ayat, dan (4) tidak menggugurkan suatu hadis yang berkualitas sahih.
            Sedangkan dalam hal perbuatan penafsiran mufasir yang satu dengan yang lain, mufasur berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu diantara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
            Diantara kitab yang menggunakan metode ini adalah Durrah a-Tanzil wa Ghurrahal-Ta'wil (Mutiara al-Qur'an dan Wajah Takwil) karya al-Iskafi yang terbatas pada perbandingan antara ayat dengan ayat, dan al-Ja'mi li Ahkam al-Qur'an (Himpunan hukum al-Qur'an) karya al-Qurthubi yang membandingkan penafsiran para mufasir.
j)    Al-Tafsir al-Madu’i(Tafsir dengan Metode Tematis )
Secara semantic, al-tafsir al-mawdhu'I berarti tafsir tematis metode  ini mempunyai du bentuk :
1.     Tafsir yang membahas satu surah al-Qur'an secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar, dengan cara menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain, dan atau antara satu pokok masalah lain. Dengan metode ini surah tersebut tampak dalam bentuk yang utuh, teratur, betul, betul cermat, teliti, dan Sempurna. Berkenan dengan tafsira tematis bentuk ini, Al-Syatibi, sebagaimana dikutip Abd al-Hayy al-Farmawi, didalam kitabnya Al-Muwafaqot berkata : “ Stu surah al-Quran, meskipun mengandung banyak masalah, - masalah itu sebenarnya adalah satu, karena pada hakikatnya menunjuk kepada satu maksud,31
                  Menurut M.Quraish Shibab, biasanya kandungan pesan suatu surah diisyaratkan oleh nama surah tersebut, selam nama tersebutr bersumber dari informasi rosullulah SAW. 32  ia mencontohkan surah al-Kahfi, yang secara harfiah berarti gua. Gua itu dijadikan tempat berlindung oleh sekelompok pemuda untuk menghindar dari kekejaman penguasa zamannya. Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa surah itu dapat memberi perlindungan bagi yang menghayati dan mengamalakan pesan-pesannya. Itulah pesan umum surah tersebut. Ayat atau kelompok ayat yang terdapat didalam surah itu kemudian diupayakan untuk dikaitkan dengan makna perlindungank itu.
                  Tafisr tematis dalam bentuk pertama ini sebenarnya sudah ia dirintis oleh ulama-ulama tafsir periode klasik, seperti Fakhr al-Din al-Razi. Namun pada masa belakangan beberapa ulama tafsir lebih menekuninya secara serius. Contoh kitab tafsir bentuk ini adalah al-Tafsir al-Wadhih (Tafsir yang Terang )Karya Muhammad Mahmud al-Hijazi dan Nahw Tafsir Mawdhu’Ili Suwar al-Qur’an Al-Karim ( Sekitar Tafsir Tematis bagi surah-surah al-Qur’an al- Karim )Karya Muhammad Al-Ghazali
                 
2. Tafsir yang menghimpun dan menyusunya ayat-ayat al-Quran yang memiliki kesamaank arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan, dibawah satu bahasa tma tertentu 33
Melaui kajian seperti itu mufasir mencoba menetapkan pandangan al-Qur’an yang mengacu pada tema khusus dari berbagai macam tema yang berkaitan denga alam dan kehidupan. Upaya mengaitkan antara satu ayat denga ayat yang lainya itu pada akhirnya akan mengantarkan mufasir kepada kesimpulan yang menyeluruh tentang masalah tertentu menurut pandangan al-Qur’an 34. Bahkan, melalui metode ini, mufasir dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di dalam benaknya dan menjadikannya sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan tujuan menemukan pandangan Al-Qur’an mengenai hal tersebut.
Al-Farmawi di dalam al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Mawadhu’I 35  ( Pendahuluan bagi tafsir Tematis ) dan Mushafa Muslim dalam Mabahits Fi al-Tafsir al – Mawdhu’i 36  (Kajian tentang Tafsir Tematis ) secara terinci mengemukakan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menyusun suatu karya tafsir berdasarkan metode ini. Langkah – langkah tersebut adalah :
a      Menentukan topik bahasan setelah menentukan batas-batasnya dan mengetahui jangkauannya didalam ayat-ayat al-Qur’an
b      Menghimpun dana menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut.
c      Merangkai urutan-urutan ayat sesuai dengan masa turunnya, misalnnya dengan mendahulukan ayat Makkiyah dari pada ayat madaniyah, Karena ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah biasanya bersifat umum.
d      Kajian tafsir ini merupakan kajian yang memerlukan bantuan kitab-kitab tafsir tahlili, pengetahuan tentang sebab-sebab turunya ayat sepanjang yang dapat dijumpai, Munasabat, dan pengetahuan tentang dilalah suatu lafal dan penggunaanya Maka mufasir perlu mengetahui semua, meskipun tidak harus dituangkan dalam pembahasan
e      Menyusun pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna.
f      Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang menyangkut masalah yang dibahas itu.
g      Mempelajari semua ayat-ayat terpilih dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang sama pengertiannya. Atau mengkompromikan antara ‘ am (umum) dan Khash (Khusus ) yang mutlaq. Dengan Muqayyad. Atau kelihatannya kontradiktif, sehingga semuanya bertemu ddalam satu muara, tanpa perbedaan atau paksaan dalam penafsiran
h      Pembahasan di bagai dalam beberapa bab yang meliputi beberapa fasal  dan setiap fasal itu dibahas, kemudian ditetapkan unsur pokok yang meliputi macam-macam pembahasan yang terdapat pada bab, kemudian menjadikan unsur yang bersifat cabang (Far’i) sebagai satu macam dari fasal.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Shubhi al-Shalih,Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, Beirut, Dar al-Ilm li al-Malayin, 1977.
2.      M. Quraisy Syihab. Sejarah & Ulum al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000.
3.      Supiana, M. Karman, Ulumul Qur’an,Bandung, Pustaka Islamika, 2002.
4.      Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung, Pustaka Setia, 2004.
5.      ---------------------, Mutiara Ilmu-ilmu al-Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, 1999.
6.      Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirin, Mesir, Dar al-Kitab al-‘Araby, 1962.
7.      Khadil Abdurrahman al-‘Akk, Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu, Damaskus, Dar al-Nafais 1986.
8.      Nashruddin Baidam, Tafsir Maudhu’i,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001.
9.      M. Hasbi Ashshiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2000.
10.  Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani,Antara Teks, Konteks dan Kontekstulisasi, Yogyakarta, Qalam 2002.
11.  Shubhi al-Shalih,Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, Beirut, Dar al-Ilm li al-Malayin, 1977.
12.  Suryan A. Jamrah, Metode Tafsir Mawdhu’iy,Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994.


























































Tidak ada komentar:

Posting Komentar