PERTEMUAN KE-11
NILAI NILAI LUHUR
DALAM UNGKAPAN JAWA
DALAM UNGKAPAN JAWA
Mata
Kuliah : ETIKA BUDYA JAWA
Dosen
pengampu : LASTRI HASANAH, M Pd

Disusun oleh :
Wawan Setyawan
Iman
Wahyudi
Semester 7A Tarbiyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUFYAN
TSAURI (STAIS)
Sekretariat : Jl. KH. Sufyan Tsauri
Po. Box 18 Majenang Kab. Cilacap
2017-2018
KATA PENGANTAR
Makalah ini dibuat guna
memenuhi tugas terstruktur mata kuliah ETIKA BUDYA JAWA yang
didalamnya menyajikan tentang NILAI NILAI LUHUR DALAM UNGKAPAN
JAWA dengan di
dampingi oleh Ibu LASTRI HASANAH, M Pd. Hingga akhir
nya kami mampu menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan baik dan apik.
Dalam
penyusunan makalah ini kami dengan rekan rekan yang lain telah berusaha
menyajikan informasi yang menarik, efisien dan dapat di pertanggung jawabkan,
tetapi Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat tidak lepas dari kekurangan,
karenanya saran dan kritik sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita.
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ii
DAFTAR
ISI iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang 1
B. Tujuan Penulisan 2
C. Rumusan Masalah 2
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Jeenis Jenis Ungkapan
Jawa 3
B. Nilai Nilai luhur ungkapan Jawa 4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 10
DAFTAR PUSTAKA 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam era global peradaban dunia seolah-olah menjadi
sempit, bahkan bisa dikatakan menyatu. Dampak nyata dari peradaban ini adalah terpinggirkannya
budaya lokal seperti budaya Jawa, Sunda, Melayu dan lain sebagainya. Fenomena
ini secara tegas diungkapkan oleh Samsina dalam makalahnya yang berjudul Budaya
Dilestari Bahasa DiperkasaMelalui Ungkapan Puisi Melayu bahwa kondisi bahasa dan
budaya Melayu saat ini mengalami keterpurukan dan terpinggirkan oleh arus
global. Untuk itu perlu adanya upaya menggugat kedaulatan dan martabat bahasa
dan budaya Melayu agar tidak terkikis oleh peradaban global tersebut.
Senada dengan pikiran di atas, perlu ditegakkan
kembali martabat bahasa, sastra dan budaya-budaya daerah, terkhusus budaya Jawa
dengan cara merekonstruksi nilai-nilai luhur yang mulai terlupakan oleh
generasi tua dan tidak terpahami oleh generasi muda karena jarang ditemui dalam
kehidupan sehari-hari. Upaya ini harus didukung pula oleh upaya pemerintah
(DIY) untuk menentukan kebijakan pola pemertahanan nilai-nilai tradisional
Jawa, agar kelak tidak dipersalahkan oleh generasi penerus yang merasa
dirugikan oleh leluhurnya, karena terjadi pemutusan pandangan hidup, akibat
tergerusnya nilai tradisional oleh budaya global. Setidaknya Konggres Bahasa
Jawa harus mampu memelopori lewat penetapan rekomendasi.
Apabila disimak lebih dalam , kebudayaan suatu
masyarakat itu mencerminkan nilai-nilai kesantunan dan budi pekerti, sistem
kepercayaan, sikap dan perilaku, sistem kemasyarakatan, bentuk ritual dan
artefak sebagai produk kebudayaan yang akan terealisasi dalam cara berujar dan
bertingkah laku (Spencer, 2001:4). Senada dengan pendapat Spencer, Koentjaraningrat
(1985:5) menggambarkan budaya dalam beberapa aspek yaitu: idea, gagasan, nilai,
norma, aktivitas, perilaku dan karya manusia.
Produk budaya Jawa khususnya budaya verbal, memiliki
variasi jenis yang sangat banyak. Ungkapan-ungkapan tersebut memiliki kekhasan
nilai dan norma yang dapat dijadikan identitas atau jatidiri manusia Jawa
(Sarjana, dan Kuswa Endah, 2010:61). Oleh karena itu, ungkapan tradisional yang
memiliki nilai-nilai luhur tersebut pantas untuk diangkat kembali dan
disosialisasikan dalam kehidupan nyata masa kini, tentu saja dengan cara
selektif dan arif agar selaras dengan peradaban masa kini.
B. Rumusan masalah
1.
Apa saja jenis ungkapan jawa?
2.
Apa saja nilai nilai luhur dalam ucapan bahasa jawa?
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat
mengetahui jenis ungkapan jawa?
2. Menabah
wawasan tentang nilai nilai luhur dalam ucapan bahasa jawa?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Jenis-jenis
Ungkapan Jawa
Ungkapan Jawa terinci dalam banyak jenis, diantaranya
berupa: wangsalan, parikan, sanepa, tembung entar, paribasan, bebasan, dan
saloka. Ungkapan-ungkapan ini memiliki penanda khas untuk membedakan antara
yang satu dengan yang lain. Agar dipahami bedanya, berikut akan diuraikan
pengertian masing-masing ungkapan tersebut. Yang pertama adalah wangsalan,
wangsalan itu adalah ungkapan yang ungkapan sejenis tebakan atau teka-teki yang
jawaban atau tebakannya berupa suku kata tersamar di dalam tubuh ungkapan itu
sendiri (Padmosoekotjo, 1960:6). Contohnya: pindhang lulang kacek apa aku karo
kowe. Kunci jawaban dari wangsalan tersebut terletak pada kata kacek jatuh pada
suku kata cek yang merupakan penggalan dari kata krecek atau nama lain dari
pindhang lulang. Pada ungkapan ini pendengar dituntut mampu mencari padanan
kata teka-teki dalam suku kata yang menjadi kunci jawaban.
Ungkapan berikutnya adalah parikan. Parikan adalah
ungkapan yang memiliki aturan persajakan, sampiran, isi, dan jumlah baris yang
dibutuhkan (Padmosoekotjo, 1960:16). Contohnya: iwak bandeng karo yuyu, priya
gantheng ning ra payu. Larik satu pada ungkapan tersebut merupakan sampiran,
sedangkan larik ke dua adalah isinya. Larik satu berakhir bunyi u demikian pula
larik ke dua harus berakhir u.
Sanepa adalah ungkapan yang berfungsi untuk
menggambarkan siatuasi atau keadaan secara berlebih atau menyangatkan dengan
cara pengandaian. Contohnya: arang wulu kucing. Ungkapan ini menggambarkan
keadaan hutang seseorang yang tersebar dibeberapa orang, karena banyaknya
diandaikan bulu kucing saja masih renggang, sehingga hutangnya benar-benar
sangat banyak dan pada banyak orang. Ungkapan berikutnya adalah tembung entar.
Tembung entar adalah ungkapan yang maknanya kiasan, berbentuk perumpamaan, dan
berfungsi untuk menyindir tingkah laku atau sifat seseorang. Contohnya: Ora
katon dhadhane artinya penakut, atau tidak berani bertemu muka/pengecut.
Paribasan adalah ungkapan yang digunakan secara ajeg/
tidak boleh diganti, serta tidak berupa perumpamaan, fungsinya untuk
menggambarkan keadaan, tingkah laku atau kehendak seseorang. Contohnya: ana
catur mungkur artinya orang yang tidak mau mempedulikan gunjingan orang, atau
orang yang tidak peduli dengan omongan orang yang tidak baik dan tidak
bertanggung jawab. Ungkapan yang lain adalah bebasan. Bebasan merupakan
ungkapan yang berisi perumpamaan, diungkapkan secara ajeg, dan berfungsi untuk
mengungkapkan keadan dan tingkah laku orang yang digambarkan. Fokus perumpamaan
terletak pada tingkah laku dan keadaannya. Contohnya: Sandhing kirik gudhigen
artinya orang yang bergaul dengan orang jahat pasti akan ikut berperilaku tidak
baik.
Saloka adalah ungkapan yang menggambarkan perilaku dan
keadaan seseorang dengan perumpamaan. Adapun yang dianalogikan / diperumpamakan
adalah orangnya. Contonya: kebo nusu gudel artinya orang yang berguru kepada
orang yang lebih muda usianya, seperti gudel yang lebih muda dibanding kerbau.
Semua ungkapan di atas mengandung kritik yang bersifat membangun, dan
disampaikan secara tersamar agar tidak menimbulkan perasaan tidak senang secara
orang terhadap orang yang dikritik. Ungkapan diciptakan untuk membentuk keharmonisan
dan keselarasan dalam bergaul, bukan sebaliknya menciptakan kegalauan dalam
bermasyarakat, karena penyampaiannya yang tidak secara blak-blakan.
Dari sejumlah ungkapan di atas ada yang dijadikan
slogan-slogan hidup bermasyarakat, dan dapat dijadikan norma hidup, atau
penyemangat hidup damai dan tenteram. Ungkapan-ungkapan yang dimaksud
diantaranya: sing salah bakal seleh, becik ketitik ala ketara, mangasah
mingising budi, tuman tumanening sepi, sepi ing pamrih rame ing gawe, ngono ya
ngono ning aja ngono, aja nganggo aji mumpung serta banyak lagi slogan menarik
yang masih relevan untuk diterapkan pada kehidupan masa kini dan
disosialisasikan ke generasi berikutnya.
B. Nilai-nilai Luhur Ungkapan Jawa
Ungkapan sing salah seleh memiliki makna berani
bertanggung jawab atas segala tindakkan atau perbuatan yang dilakukan. Didalam
ungkapan ini terkandung nilai luhur yang bersifat pedagogis yaitu mengajarkan
kejujuran dan tanggung jawab. Orang dituntut berani menerima resiko atas
perbuatannya. Secara jantan berani mengakui kesalahan yang telah diperbuat, dan
bertanggung jawab atas segala kesalahan yang telah dilakukan. Bukan sebaliknya
bersikap tinggal glanggang colong playu. Ungkapan ini memiliki arti sebaliknya
yaitu lepas tanggung jawab. Perbuatan ini mencerminkan sikap yang ingkar
terhadap apa yang pernah dilakukan, karena tindakannya tidak menghasilkan
sesuatu yang diharapkan tetapi justru membuahkan permasalahan. Karena tidak
berani menerima resiko akibat ulahnya maka lebih baik meninggalkan segala
tanggung jawabnya dengan diam-diam agar tidak diketahui orang banyak dan diberi
sangsi.
Perbuatan seperti ini banyak terjadi pada kehidupan
masa sekarang. Mengapa? Karena orang-orang mulai mengesampingkan nurani, budi
pekerti dan nilai menghargai sesama makhluk, bahkan lengah terhadap keberadaan
Tuhan. Untuk menutupi segala kesalahan yang telah diperbuat biasanya kemudian
mencari celah untuk menutupi aibnya walaupun dengan cara tidak benar. Ungkapan
yang menggambarkan perbuatan tersebut adalah golek-golek. Artinya dia mencari
cara agar aman. Cara yang digunakan biasanya menyimpang norma, misalnya dengan
menyuap kepada pembesar atau pejabat yang berkuasa.
Sikap seperti di atas tercermin pada ungkapan
nglancipi singating andaka yang artinya mengadu kepada orang yang berkuasa
dengan harapan orang tersebut peduli kepadanya, sehingga aibnya tertutupi.
Ungkapan senada yang laim dilakukan orang bersalah untuk berlindung atas
kesalahannya adalah kekudhung walulang macan. Ungkapan ini berarti berlindung
kepada kekuasaan orang besar dan sangat berpengaruh di wilayahnya, sehingga
tidak aka ada orang yang berani mengungkit kesalahannya karena mereka takut
pada orang yang dijadikan pelindungnya. Apabila ada yang berani pasti akan
mendapat masalah.
Kesempatan seperti di atas biasa dimanfatkan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mereka berlindung pada ungkapan aji
mumpung. Aji mumpung adalah perbuatan yang banyak dilakukan oleh orang-orang
yang gila harta, pangkat dan kekuasaan. Mereka lupa bahwa segala hal yang
diperbuat akan membuahkan hasil. Dalam masyarakat Jawa diyakini sebagai karma
phala yaitu buah dari perbuatan. Sebaik-baik orang menyimpan bangke akhirnya
akan tercium juga. Mereka lengah bahwa Tuhan itu Maha Tahu dan Maha Adil. Hal
ini tercermin pada ungkapan becik ketitik ala ketara. Apabila orang tidak dekat
dengan Tuhan pastilah dia lupa bahwa perbuatan jelek/ jahat pasti akhirnya akan
terkuak, demikian pula perbuatan baik. Dalam Surah Az Zalzalah ayat 7 dan 8
Allah berfirman bahwa orang yang melakukan perbuatan baik walaupun sedikit saja
seberat biji sawi nisacaya akan melihatnya. Demikian pula sebaliknya orang yang
berbuat jahat walaupun sedikit seberat biji sawi niscaya dia akan melihatnya
(Nanadhy, 1994:160). Dari ayat ini dapat dipetik pelajaran yang diyakini orang
Jawa sebagai buah perbuatan, dan terbungkus dalam ungkapan becik ketitik ala
ketara.
Memetik hikmah dari diungkapan di atas, maka sudah
selakyaknya orang harus selalu ingat kepada Tuhan. Agar tidak terjerembab dalam
kenistaan maka orang harus pandai. Langkah untuk pandai orang harus mau
mangasah mingising budi. Ungkapan ini mengandung makna orang tidak boleh
berdiam diri tidak mengembangkan kemampuan otak dan rasa. Agar otak menjadi
cerdas, orang harus selalu belajar. Orang yang rajin belajar pasti banyak
wawasn dan ilmu yang membuat budi atau rasanya juga terasah. Slogan ini sangat
relevan dalam kehidupan sekarang, mengingat hidup di masa ini dituntut mampu
menyelaraskan dengan perkembangan jaman. Orang bodoh sama saja terlindas jaman.
Dampak hidupnya akan tertinggal oleh kemajuan teknologi dan keilmuan. Kata yang
tepat untuk orang seperti itu adalah gaptek atau gagap teknologi. Sikap yang
demikian apabila dibiarkan akan membuat diri orang tersebut malu untuk bergaul
karena merasa serba teritinggal.
Untuk mengejar kertertinggalan orang harus banyak
membaca. Membaca karya yang berupa tulisan ataupun situasi. Perilaku seperti
ini memang telah diisyaratkan Allah jauh sebelum peradaban. Ketika itu Muhammad
diminta Jibril untuk membaca. Perintah itu diulang sampai tiga kali. Dari
perintah Jibril manusia dapat mengambil nilai yang tersirat adalah belajarlah
dan terus belajar agar engkau menjadi manusia yang ditinggikan martabatmu oleh
Allah. Slogan mangasah mingising budi termasuk slogan yang mengandung
nilai-nilai tersebut. Sebagai manusia agar budinya luhur atau terasah harus
selalu meningkatkan wawasan dengan cara mangasah agar tetap mingis atau tajam.
Dalam rangka meraih pencerahan jiwa atau batin/budi
orang harus berani menyepi, menjauhkan diri dari hiruk pikuk keglamoran dunia.
Langkah ini tercermin dalam slogan tuman tumanening sepi. Slogan ini
mengisyaratkan nilai luhur kepada manusia agar senang menyepi, menjauhkan diri
dari keramaian dunia. Caranya dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta
Hidup. Slogan ini apabila dicermati lebih dalam, dia menyimpan nilai ajaran
pengekangan diri. Orang tidak boleh terlena pada kesenangan dunia, tetapi harus
mampu menyeimbangkan antara nafsu lahiriah dan batin. Orang tidak mengejar
dunia saja tetapi harus ingat pula pada giliranya akan mati. Sikap demikian
secara pelan tetapi pasti akan mengerem perbuatan salah dan semaunya sendiri.
Ungkapan serupa dalam bahasa Indonesia: bekerjalah giat seolah akan hidup
seribu tahu lagi dan beribadahlah secara khusuk seolah akan segera mati.
Apabila manusia Jawa mampu memahami nilai tersebut
pastilah masyarakat akan hidup madani, jauh dari pergolakan dan perselisihan.
Meskipun demikian manusia Jawa juga tidak boleh lalai akan kerja keras yang
benar agar mampu hidup secara layak. Konsep hidup yang demikian itu tercermin
dalam slogan sepi ing pamrih rame ing gawe. Slogan ini apabila dikupas akan
membuahkan nilai luhur,bahwa hidup ini harus dijalani dengan sungguh-sungguh
dan tangguh. Untuk itu dalam melaksanakan pekerjaan orang tidak boleh berharap
akan besarnya hasil yang harus diperoleh. Hasil adalah perkara belakang, karena
apabila menjelang kerja sudah berhitung hasil yang menguntungkan pribadi pasti
sistem kerjanya akan tidak transparan. Dampaknya akan terjadi upaya apapun
dihalalkan, yang mengakibatkan kerugian untuk orang lain. Sikap seperti ini
akan menimbulkan permasalahan besar pada tahap berikutnya. Hal yang demikian
jika dihitung secara dagang akan membuat lembaga bangkrut.
Untuk menanggulangi sikap arogan seperti itu orang
Jawa mengingatkan lewat slogan ngono ya ngono ning aja ngono,yang artinya
adalah memanfaatkan situasi atas dasar kemampuan yang dimilikinya. Perhitungan
yang sebetulnya akan membuat untung dirinya. Untuk itu penekanan slogan sangat
keras sebagai bentuk laranagan yaitu aja ngono. Walaupun kamu mampu tetapi
pertimbangkan lagi nilai-nilai kebenaran yang akan terjadi, jangan asal mampu.
Pesan ini sangat tepat disosialisasikan kepada orang-orang yang merasa pandai
dan merasa berkuasa. Bukan rahasia lagi pejabat-pejabat di negeri ini
memanfaatkan aji mumpung. Oleh sebab itu mereka harus paham slogan di atas dan
berikut yaitu aja nganggo aji mumpung.
Slogan tersebut mengandung ajaran mulia atau luhur,
bahwa orang tidak boleh berbuat atas dasar kesempatan yang dia lihat, atau
memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Fenomena seperti ini marak terjadi,
karena manusia memiliki kodrat ingin enak tanpa repot atau bekerja keras. Tipe
orang yang seperti ini akan membalik slogan dari sepi ing pamrih rame ing gawe
menjadi rame ing pamrih rame ing gawe, dan akan lebih fatal jika menjadi rame
ing pamrih sepi ing gawe. Perilaku seperti ini tidak mustakhil terjadi karena
kodrat manusia adalah ingin enak tanpa repot.
Untuk menanggulangi hal tersebut, perlu dilakuakn
pembenahan secara mendasar, yaitu merubah perilaku hidupmanusia dengan cara
mengajarkan hidup mulia. Salah satu caranya adalah mengajarkan kembali nilai-nilai
luhur sesuai dengan budaya yang seharusnya. Orang Jawa adalah orang Jawa yang
berperilaku Jawa, atau berpandangan hidup Jawa, bukan yang Barat atau yang
lain. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ki hajar Dewantara, orang Jawa
harus/boleh belajar tentang kehidupan barat, tetapi tidak harus menjadi orang
barat atau berpandangan hidup barat. Sejalan dengan pemikiran ini, sudah
saatnya orang Jawa yang hampir tergelincir hidupnya karena arus global, mulai
berbenah diri.
Secara bahu membahu anatara masyarakat dengan
pemerintah untuk menegakkan kembali jati diri orang Jawa, untuk menjadi Jawa.
Jangan sampai muncul ungkapan wong Jawa sing ora Jawa. Maksudnya orang
keturunan Jawa, bertempat tinggal di Jawa tetapi tidak berpandangan hidup Jawa.
Bak pepatah kacang ninggal lanjarane, orang yang tidak tahu asal usul karena
berubah pandangan hidup.
Apabila fenomena seperti ini tidak diharapkan orang
Jawa, maka melalui Konggres yang mulia ini, perlu direkomendasikan: segera
direkonstruksi nilai-nilai luhur Jawa di setiap lini, terkhusus yang terkandung
dalam ungkapan-ungkapan tradisional Jawa. Segara diinventarisasi, dipilah
antara nilai-nilai yang masih relevan yang telah using, disosialisasikan lewat
penulisan dan penerbitan dan giliran berikutnya diajarkan kepada generasi muda
baik dalam kehidupan sehari-hari ataupun lewat pendidikan formal seperti
dijadikan bahan atau materi ajar dalam mata pelajaran bahasa dan budaya Jawa.
Apabila langkah ini dikerjakan secara mantab, insya
Allah nilai-nilai luhur Jawa yang terkandung dalam ungkapan tradisional mampu
dijadikan fondamen hidup bermasyarakat yaitu masyarakat madani Jawa, walaupun
harus dimuali dari nol, pada generasi baru/muda, karena sulit untuk ditanamkan
kembali kepada generasi transisi yang telah tercemar kehidupan global.
D. Penutup
Berdasarkan uraian di atas apabila dicermati dengan
saksama, nilai-nilai ungkapan Jawa memiliki daya juang hidup yang tinggi.
Maksudnya nilai-nilai yang terkandung, mampu menuntun masyarakat hidup
berdampingan secara harmoni, selaras dan seimbang antara kehidupan dunia dan
akherat kelak. Dapat pula menyeimbangkan hidup selaras dengan lingkungan atau
kondisi yang sedang terjadi. Nilai-nilai yang terkandung juga dapat dijadikan
kendali untuk berperilaku baik dalam hubungan manusia dengan sesama manusia,
manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan Tuhan.
Nilai-nilai tersebut pantas dijadikan fondamen hidup
karena, di dalamnya terkandung aspek weru, eling dan ening. Nilai inilah inti
pandangan hidup Jawa yang berlandaskan ilmu sangkan paran. Weruh maksudnya tahu
tentang jatidiri, bahwa makhluk itu walaupun super tetap di bawah kendali
Tuhan. Eling maksudnya manusia tidak boleh menurutkan kehendak, lupa bahwa
dirinya kelak akan kembali ke asalnya/jatidiri hidup, dan ening manusia wajib menyempatkan
diri untuk khusuk mengingat Tuhannya.
Demikianlah sekilas pandangan tentang nilai-nilai
luhur yang terkandung di dalam ungkapan tradisional Jawa yang pantas untuk
diangkat kembali dijadikan dasar hidup bermasyarakat untuk membentuk masyarakat
madani. Langkah ini merupakan salah satu upaya pemertahanan budaya yang
mengarah pada langkah masuh malaning bumi, memayu hayuning bawana (Nurhayati,
2011:123).
E. Daftar Buku
Bacaan/Pustaka
♦ Koentjaraningrat.1985. Kebudayaan,
Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
♦ Nanadhy.1994.Terjemahan Al Quran
Lafzhiyah penuntun bagi yang Belajar. Jakarta: Yayasan Pembinaan Masyarakat
Islam “ Al Hikmah”
♦ Nurhayati, Endang. 2011. Model Pemertahanan
Bahasa Jawa Propinsi DIY.Brunei: Makalah.
♦ Padmosoekotjo.1958. Ngengrengan Kasusastran Djawa I.
Jogjakarta:
Hien Hoo Sing.
Hien Hoo Sing.
♦ Padmosoekotjo.1960. Ngengrengan Kasusastran Djawa
II. Jogjakarta:
Hien Hoo Sing.
Hien Hoo Sing.
♦ Sarjana, dan Kuswa Endah.2010. Filsafat
Jawa.Yogyakarta: Kanwa
Publiser.
Publiser.
♦ Sasmina, Haji Abd. Rahman. 2011. Budaya Dilestari
Bahasa Diperkasa
Melalui Ungkapan Puisi Melayu. Brunei: Makalah.
Melalui Ungkapan Puisi Melayu. Brunei: Makalah.
♦ Spencer, Helen, and Oatey.tt.
Culturally Speaking: Managing Rapport
throught Talk across Culture.
throught Talk across Culture.