Rabu, 13 Maret 2019

filsafat ilmu







Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFdaZjDFMo8UzmjV6g3rPTOVdnBuzLhCnBWn9mzMpc0Gup_yLa1qDOcLb9jp_NBTgzHC1GT8mqnYsid-HLG2IagiyVUvQrqbGh_3G11MVE6PeOwbFjZHeydm7Ha-smHdWNwzY6LiPF7Ac/s1600/verifikasi.jpeg A.    Latar Belakang

Post positivisme merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan, sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang  mustahil bila suatu realitas   dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang dating setelah positivism dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.  Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang pembahasan verifikasi secara mendalam.


B.    Rumusan Masalah

1.    Bagaimana sejarah vienna circle atau verifikasi?
2.    Apa yang dimaksud dengan verifikasi?
3.    Bagaimana pendapatvienna circle tentang filsafat?


C.     Tujuan

1.     Mengetahui sejarah vienna circle atau verifikasi
2.     Memahami definisi verifikasi
3.    Memaparkan pendapat vienna circle tentang filsafat
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Vienna Circle atau Verifikasi

Secara umum bisa dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan. Sementara Kant adalah orang melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya.
Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filosof sosial berkebangsaan Perancis, yang banyak mengikuti warisan pemikiran Hume dan Kant. Melalui tulisan dan pemikirannya, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif.
Semasa dengan Comte ini muncul pula John Stewart Mill (1803-1873)—filosof logika berkebangsaan Inggris—dan Herbert Spencer (1820-1903) yang dianggap sebagai tokoh penting positivisme pada pertengahan kedua abad XIX dan dalam waktu yang bersamaan dianggap sebagai tokoh positivisme terakhir untuk periode pertama (periode Comte-Mill-Spencer). 
Periode kedua dari perkembangan positivisme banyak diwarnai oleh pemikiran dan pendapat filosof Ernst March (1838-1916), yang dikenal sebagai tokoh Empiriokritizimus atau kadang disebut juga dengan Machisme. Selain March dikenal pula Avenarius, Person dan Henri Poincare.
Pada tahun 1920-an, positivisme mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan hadirnya kaum positivis logis yang tergabung dalam Lingkaran Wina (vienna circle). Lingkaran Wina (vienna circle) adalah suatu kelompok diskusi yang terdiri dari para sarjana ilmu pasti dan alam yang berkedudukan di kota Wina, Austria. Setiap minggu mereka berkumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah filosofis yang menyangkut ilmu pengetahuan. Kelompok ini didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun 1924, meski sebenarnya pertemuan-pertemuannya sudah berlangsung sejak 1922, dan berjalan terus hingga 1938. Anggota-anggotanya antara lain: Moritz Schlick (1882-1936), Hans Hanh (1880-1934), Otto Neurath (1882-1945), Victor Kraft (1880-1975), Harbert Feigl (1902) dan Rudolf Carnap (1891-1970). Diantara para anggota Lingkaran Wina filsuf yang menarik perhatian adalah Rudolf Carnap. Pengaruhnya atas filsafat dewasa ini dapat disetarakan dengan Russel dan Wittgenstein. Ia seorang pemikir yang sistematis dan orisinil.
Pandangan yang dikembangkan oleh kelompok ini disebut neopositivisme, atau sering juga dinamakan positivisme logis. Sebagai penganut positivisme, secara umum mereka berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman, namun secara khusus dan eksplisit pendirian mereka sebagai berikut:
a.    Mereka menolak perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial
b.    Menganggap pernyataan-pernyataan yang tak dapat diverifikasi secara empiris, seperti estetika, etika, agama, metafisika, sebagai nonsense.
c.    Berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan di dalam satu bahasa ilmiah yang universal (Unified Science)
d.    Memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan-pernyataan.


B.    Definisi Verifikasi

Verifikasi (Inggris: verification) adalah teori filsafat positifis logis dalam memilih yang menyatakan bahwa pengalaman adalah satu-satunya sumber dasar pengetahuan dan dalam analisa logis dapat dilakukan dengan bantuan simbol-simbol logika dengan menggunakan metode untuk memecahkan masalah melalui metode verifikasi empirik yaitu bila terdapat sesuatu yang tidak dapat diverifikasi secara empirik maka hasilnya adalah sia-sia. penganut teori radikal ini memiliki masalah konsekuensi untuk filosofi tradisional, karena, jika benar, akan menyebabkan banyak pekerjaan sia-sia pada filosofis masa lalu, antara lain pada metafisika dan etika.
Verifikasi berasal dari bahasa Inggris, yakni ‘Verification’, yang artinya pemeriksaan tentang suatu kebenaran atas laporan, pernyataan, dan lain-lain. Verifikasi merupakan salah satu cara pengujian hipotesis yang tujuan utamanya adalah untuk menemukan teori-teori, prinsip-prinsip, generalisasi, dan hukum-hukum. Verifikasi adalah pandangan yang dikembangkan oleh Neo-Positivisme atau yang di kenal Positivisme Logis. Pandangan ini dipengaruhi oleh Auguste Comte  (1798-1857) tentang pengetahuan yang berlandaskan pada pendekatan logis dan pasti (positif). 
Menurut Moritz Sclick, Verifikasi merupakan pengamatan empiris secara langsung, artinya pernyataan yang di ambil langsung dari objek yng di amati itulah yang benar-benar mengandung makna. Oleh karenanya, pengetahuan di mulai dari suatu pengamatan peristiwa. Dalam hal ini Alfred Jules Ayer menegaskan bahwa Verifikasi merupakan suatu cara untuk merumuskan suatu proposisi (pernyataan) jika pernyataan yang diungkapkan itu dapat di analisis atau dapat di verifikasi secara empiris.
Pada dasarnya Verifikasi di gunakan untuk mencari garis pemisah antara pernyataan yang bermakna (meaningful) dan yang tidak bermakna (meaningless). Artinya, jika suatu pernyataan dapat di verifikasi, maka pernyataan tersebut adalah bermakna (ilmiah), sebaliknya jika suatu pernyataan tidak dapat diverifikasi, maka pernyataan tersebut tidak bermakna (non ilmiah). Dalam hal ini, prinsip dasar verifikasi ialah terletak pada proposisinya (suatu pernyataan). Suatu proposisi dinyatakan bermakna jika dapat diuji dengan pengalaman (empiris) dan dapat diverifikasi dengan pengamatan(observasi).
Pandangan Verifikasi menolak atas metafisika. Karena metafisika di anggap tidak bermakna sebab metafisika mengandung proposisi yang tidak dapat di verifikasi. Menurut Rudolf Carnap, metafisika merupakan proposisi yang “Pseudo-Statements”, yakni suatu proposisi (pernyataan) yang melanggar aturan-aturan sintaksis logika dari pembuktian empiris. Oleh karenanya, pernyataan metafisis harus ditolak, karena metafisis bertentangan dengan kriteria empiris.
Carnap selanjutnya membedakan antara verifikasi langsung dan tidak langsung. Apabila suatu pernyataan yang menunjukkan sebuah persepsi sekarang, seperti “sekarang saya melihat lapangan merah dengan dasar biru”, maka saya pernyataan ini dapat diuji secara langsung dengan persepsi kita sekarang. Pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara langsung dengan penglihatan. Artinya, jika tidak dilihatnya, maka ia terbantah. Sementara terhadap verifikasi tidak langsung Carnap memberikan jalan lewat deduksi dari pernyataan perseptual. Suatu pernyataan yang mengandung makna teoritis, tidak mungkin diverifikasi dengan menghadirkan image sesuatu, tetapi dengan kemungkinan pendekdusian dari pernyataan perseptual tersebut, karena kemungkinan verifikasi.  
Dengan kata lain yang dimaksud dengan verifikasi adalah teori filsafat logis yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan itu berasal dari pengalaman yang kemudian  diuji dengan metode verifikasi yang dibuktikan kebenarannya secara empiris. Apabila pernyataan tersebut dapat diverifikasi maka pernyataan tersebut bermakna (ilmiah), dan apabila pernyataan itu tidak dapat diverifikasi maka pernyataan itu tidak bermakna (non ilmiah) seperti estetika, etika, agama, metafisika. Tujuannya untuk menemukan teori-teori, generalisasi dan hukum.
Contoh verifikasi adalah memverifikasi bahwa langit berwarna biru, Anda hanya melihat langit. Oleh karena itu, menurut positivis logis, Anda tahu apa yang saya maksud ketika saya berpendapat bahwa langit berwarna biru. Demikian pula, Anda tahu bagaimana untuk memverifikasi bahwa kursi yang saya duduki adalah biru. Yang Anda harus lakukan adalah datang ke ruangan tempat saya duduk dan melihat kursiku. Hal ini, menurut positivis logis, merupakan kriteria yang perlu dipenuhi agar kalimat menjadi bermakna jika itu adalah pernyataan fakta tentang dunia.


C.    Pendapat Lingkaran Wina Tentang Filsafat

Filsafat menurut pendapat Lingkaran Wina, tidak mempunyai suatu wilayah penelitian tersendiri. Realitas empiris dengan segala aspeknya dipelajari oleh ilmu pengetahuan khusus, sementara suatu realitas yang non-empiris dan transenden dan transenden tidak mungkin menjadi pengetahuan. Objek filsafat tradisional seperti ‘Ada yang absolut’ tidak dapat menjadi wilayah yang digarap oleh pengetahuan kita, karenanya pernyataan-pernyataan yang menyangkut objek-obje yang demikian itu merupakan pernyataan semu. Problem-problem kefilsafatan juga hanya semu belaka, karena tidak didasarkan pada penggunaan bahasa yang bermakna (meaningfull), tetapi menggunakan bahasa yang penuh emosi dan perasaan (emotional use of language).
Berdasarkan pemahaman di atas, tugas tunggal yang tertinggal bagi filsafat ialah memeriksa susunan logis bahasa ilmiah , baik dalam rumusan penyelidikan ilmu alam, maupun dalam logika dan matematika. Dengan demikian, filsafat ilmu adalah logika ilmu. Filsafat ilmu  harus disusun berdasarkan analogi logika formal. Sebagaimana logika formal selalu menyibukkan diri dengan problem ‘bentuk’ (forma), dan bukannya dengan ‘isi’ proposisi dan argumen, demikian pula logika ilmu lebih mengurusi bentuk-bentuk logis pernyataan ilmiah.
Dengan kata lain menurut pendapat Lingkaran Wina tentang filsafat adalah filsafat tidak mempunyai wilayah penelitian sendiri. Dalam kajian filsafat biasanya yang dibahas adalah pernyataan-pernyataan yang semu dan masalah-masal dalam filsafat juga hanya semu belaka. Sehingga dalam pengunggkapan bahasa menggunakan bahasa yang penuh emosi, bukan menggunakan bahasa yang mermakna (meaningfull).
PENUTUP

Kesimpulan
Sejarah lahirnya Lingkaran Wina dimulai pada tahun 1920-an, yang mana positivisme mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan hadirnya kaum positivis logis yang tergabung dalam Lingkaran Wina (vienna circle). Lingkaran Wina (vienna circle) adalah suatu kelompok diskusi yang terdiri dari para sarjana ilmu pasti dan alam yang berkedudukan di kota Wina, Austria. Setiap minggu mereka berkumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah filosofis yang menyangkut ilmu pengetahuan. Kelompok ini didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun 1924, meski sebenarnya pertemuan-pertemuannya sudah berlangsung sejak 1922, dan berjalan terus hingga 1938.
Verifikasi adalah teori filsafat positifis logis dalam memilih yang menyatakan bahwa pengalaman adalah satu-satunya sumber dasar pengetahuan dan dalam analisa logis dapat dilakukan dengan bantuan simbol-simbol logika dengan menggunakan metode untuk memecahkan masalah melalui metode verifikasi empirik yaitu bila terdapat sesuatu yang tidak dapat diverifikasi secara empirik maka hasilnya adalah sia-sia. penganut teori radikal ini memiliki masalah konsekuensi untuk filosofi tradisional, karena, jika benar, akan menyebabkan banyak pekerjaan sia-sia pada filosofis masa lalu, antara lain pada metafisika dan etika.
Filsafat menurut pendapat Lingkaran Wina, tidak mempunyai suatu wilayah penelitian tersendiri. Realitas empiris dengan segala aspeknya dipelajari oleh ilmu pengetahuan khusus, sementara suatu realitas yang non-empiris dan transenden dan transenden tidak mungkin menjadi pengetahuan.


DAFTAR PUSTAKA

Hidayati, Anis. Dogmatis, Spekulatif, Verifikatif, dan Falsifikatif, http:\tugas\verifikasi\dogmatis, spekulatif, verifikatif, dan falsifikatif _ anis_hidayati.htm. diakses tgl 9 Oktober pkl 07.10 WIB

http\Download\Asas Verifikasi dan Tugas Filsafat<< selembar kertasku.htm. di akses tanggal 19 Oktober 2011 pkl 09.00 WIB

http://z15.invisionfree.com/Paradisia/ar/t2649.htm. diakses tgl 05 Desember  pkl 09.10WIB

http://id.wikipedia.org/wiki/verifikasi, diakses pada tgl 9 Oktober 2011 pkl 07.00WIB

Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu Kajian Atas Dasar Paradigma dan KerangkaTeori dan Ilmu  Pengetahuan. Yogyakarta:Belukar Gowok, Komplek Polri. 2006

Jumat, 01 Juni 2018

NILAI NILAI LUHUR DALAM UNGKAPAN JAWA




PERTEMUAN KE-11
NILAI NILAI LUHUR
DALAM UNGKAPAN JAWA
                                                                                

Mata Kuliah : ETIKA BUDYA JAWA
Dosen pengampu : LASTRI HASANAH, M Pd


Description: E:\logo\LOGO STAIS WARNA PNG.png


Disusun oleh :
Wawan Setyawan
Iman Wahyudi
           
Semester 7A Tarbiyah






SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUFYAN TSAURI (STAIS)
Sekretariat : Jl. KH. Sufyan Tsauri Po. Box 18 Majenang Kab. Cilacap
2017-2018


KATA PENGANTAR

Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas terstruktur mata kuliah ETIKA BUDYA JAWA yang didalamnya menyajikan tentang NILAI NILAI LUHUR DALAM UNGKAPAN JAWA dengan di dampingi oleh Ibu LASTRI HASANAH, M Pd. Hingga akhir nya kami mampu menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan baik dan apik.
Dalam penyusunan makalah ini kami dengan rekan rekan yang lain telah berusaha menyajikan informasi yang menarik, efisien dan dapat di pertanggung jawabkan, tetapi Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat tidak lepas dari kekurangan, karenanya saran dan kritik sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita.



Penyusun










DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR                                                                                                              ii
DAFTAR ISI                                                                                                                            iii
BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang                                                                                                              1
B.     Tujuan Penulisan                                                                                                           2
C.     Rumusan Masalah                                                                                                         2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Jeenis Jenis Ungkapan Jawa                                                                                          3
B.     Nilai Nilai luhur ungkapan Jawa                                                                                   4
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan                                                                                                                    10
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                               11

 


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Dalam era global peradaban dunia seolah-olah menjadi sempit, bahkan bisa dikatakan menyatu. Dampak nyata dari peradaban ini adalah terpinggirkannya budaya lokal seperti budaya Jawa, Sunda, Melayu dan lain sebagainya. Fenomena ini secara tegas diungkapkan oleh Samsina dalam makalahnya yang berjudul Budaya Dilestari Bahasa DiperkasaMelalui Ungkapan Puisi Melayu bahwa kondisi bahasa dan budaya Melayu saat ini mengalami keterpurukan dan terpinggirkan oleh arus global. Untuk itu perlu adanya upaya menggugat kedaulatan dan martabat bahasa dan budaya Melayu agar tidak terkikis oleh peradaban global tersebut.
Senada dengan pikiran di atas, perlu ditegakkan kembali martabat bahasa, sastra dan budaya-budaya daerah, terkhusus budaya Jawa dengan cara merekonstruksi nilai-nilai luhur yang mulai terlupakan oleh generasi tua dan tidak terpahami oleh generasi muda karena jarang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Upaya ini harus didukung pula oleh upaya pemerintah (DIY) untuk menentukan kebijakan pola pemertahanan nilai-nilai tradisional Jawa, agar kelak tidak dipersalahkan oleh generasi penerus yang merasa dirugikan oleh leluhurnya, karena terjadi pemutusan pandangan hidup, akibat tergerusnya nilai tradisional oleh budaya global. Setidaknya Konggres Bahasa Jawa harus mampu memelopori lewat penetapan rekomendasi.
Apabila disimak lebih dalam , kebudayaan suatu masyarakat itu mencerminkan nilai-nilai kesantunan dan budi pekerti, sistem kepercayaan, sikap dan perilaku, sistem kemasyarakatan, bentuk ritual dan artefak sebagai produk kebudayaan yang akan terealisasi dalam cara berujar dan bertingkah laku (Spencer, 2001:4). Senada dengan pendapat Spencer, Koentjaraningrat (1985:5) menggambarkan budaya dalam beberapa aspek yaitu: idea, gagasan, nilai, norma, aktivitas, perilaku dan karya manusia.


Produk budaya Jawa khususnya budaya verbal, memiliki variasi jenis yang sangat banyak. Ungkapan-ungkapan tersebut memiliki kekhasan nilai dan norma yang dapat dijadikan identitas atau jatidiri manusia Jawa (Sarjana, dan Kuswa Endah, 2010:61). Oleh karena itu, ungkapan tradisional yang memiliki nilai-nilai luhur tersebut pantas untuk diangkat kembali dan disosialisasikan dalam kehidupan nyata masa kini, tentu saja dengan cara selektif dan arif agar selaras dengan peradaban masa kini.

B.     Rumusan masalah
1.     Apa saja jenis ungkapan jawa?
2.     Apa saja nilai nilai luhur dalam ucapan bahasa jawa?

C.     Tujuan Penulisan
1.  Dapat mengetahui jenis ungkapan jawa?
2.  Menabah wawasan tentang nilai nilai luhur dalam ucapan bahasa jawa?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Jenis-jenis Ungkapan Jawa
Ungkapan Jawa terinci dalam banyak jenis, diantaranya berupa: wangsalan, parikan, sanepa, tembung entar, paribasan, bebasan, dan saloka. Ungkapan-ungkapan ini memiliki penanda khas untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain. Agar dipahami bedanya, berikut akan diuraikan pengertian masing-masing ungkapan tersebut. Yang pertama adalah wangsalan, wangsalan itu adalah ungkapan yang ungkapan sejenis tebakan atau teka-teki yang jawaban atau tebakannya berupa suku kata tersamar di dalam tubuh ungkapan itu sendiri (Padmosoekotjo, 1960:6). Contohnya: pindhang lulang kacek apa aku karo kowe. Kunci jawaban dari wangsalan tersebut terletak pada kata kacek jatuh pada suku kata cek yang merupakan penggalan dari kata krecek atau nama lain dari pindhang lulang. Pada ungkapan ini pendengar dituntut mampu mencari padanan kata teka-teki dalam suku kata yang menjadi kunci jawaban.
Ungkapan berikutnya adalah parikan. Parikan adalah ungkapan yang memiliki aturan persajakan, sampiran, isi, dan jumlah baris yang dibutuhkan (Padmosoekotjo, 1960:16). Contohnya: iwak bandeng karo yuyu, priya gantheng ning ra payu. Larik satu pada ungkapan tersebut merupakan sampiran, sedangkan larik ke dua adalah isinya. Larik satu berakhir bunyi u demikian pula larik ke dua harus berakhir u.
Sanepa adalah ungkapan yang berfungsi untuk menggambarkan siatuasi atau keadaan secara berlebih atau menyangatkan dengan cara pengandaian. Contohnya: arang wulu kucing. Ungkapan ini menggambarkan keadaan hutang seseorang yang tersebar dibeberapa orang, karena banyaknya diandaikan bulu kucing saja masih renggang, sehingga hutangnya benar-benar sangat banyak dan pada banyak orang. Ungkapan berikutnya adalah tembung entar. Tembung entar adalah ungkapan yang maknanya kiasan, berbentuk perumpamaan, dan berfungsi untuk menyindir tingkah laku atau sifat seseorang. Contohnya: Ora katon dhadhane artinya penakut, atau tidak berani bertemu muka/pengecut.
Paribasan adalah ungkapan yang digunakan secara ajeg/ tidak boleh diganti, serta tidak berupa perumpamaan, fungsinya untuk menggambarkan keadaan, tingkah laku atau kehendak seseorang. Contohnya: ana catur mungkur artinya orang yang tidak mau mempedulikan gunjingan orang, atau orang yang tidak peduli dengan omongan orang yang tidak baik dan tidak bertanggung jawab. Ungkapan yang lain adalah bebasan. Bebasan merupakan ungkapan yang berisi perumpamaan, diungkapkan secara ajeg, dan berfungsi untuk mengungkapkan keadan dan tingkah laku orang yang digambarkan. Fokus perumpamaan terletak pada tingkah laku dan keadaannya. Contohnya: Sandhing kirik gudhigen artinya orang yang bergaul dengan orang jahat pasti akan ikut berperilaku tidak baik.
Saloka adalah ungkapan yang menggambarkan perilaku dan keadaan seseorang dengan perumpamaan. Adapun yang dianalogikan / diperumpamakan adalah orangnya. Contonya: kebo nusu gudel artinya orang yang berguru kepada orang yang lebih muda usianya, seperti gudel yang lebih muda dibanding kerbau. Semua ungkapan di atas mengandung kritik yang bersifat membangun, dan disampaikan secara tersamar agar tidak menimbulkan perasaan tidak senang secara orang terhadap orang yang dikritik. Ungkapan diciptakan untuk membentuk keharmonisan dan keselarasan dalam bergaul, bukan sebaliknya menciptakan kegalauan dalam bermasyarakat, karena penyampaiannya yang tidak secara blak-blakan.
Dari sejumlah ungkapan di atas ada yang dijadikan slogan-slogan hidup bermasyarakat, dan dapat dijadikan norma hidup, atau penyemangat hidup damai dan tenteram. Ungkapan-ungkapan yang dimaksud diantaranya: sing salah bakal seleh, becik ketitik ala ketara, mangasah mingising budi, tuman tumanening sepi, sepi ing pamrih rame ing gawe, ngono ya ngono ning aja ngono, aja nganggo aji mumpung serta banyak lagi slogan menarik yang masih relevan untuk diterapkan pada kehidupan masa kini dan disosialisasikan ke generasi berikutnya.
B.    Nilai-nilai Luhur Ungkapan Jawa
Ungkapan sing salah seleh memiliki makna berani bertanggung jawab atas segala tindakkan atau perbuatan yang dilakukan. Didalam ungkapan ini terkandung nilai luhur yang bersifat pedagogis yaitu mengajarkan kejujuran dan tanggung jawab. Orang dituntut berani menerima resiko atas perbuatannya. Secara jantan berani mengakui kesalahan yang telah diperbuat, dan bertanggung jawab atas segala kesalahan yang telah dilakukan. Bukan sebaliknya bersikap tinggal glanggang colong playu. Ungkapan ini memiliki arti sebaliknya yaitu lepas tanggung jawab. Perbuatan ini mencerminkan sikap yang ingkar terhadap apa yang pernah dilakukan, karena tindakannya tidak menghasilkan sesuatu yang diharapkan tetapi justru membuahkan permasalahan. Karena tidak berani menerima resiko akibat ulahnya maka lebih baik meninggalkan segala tanggung jawabnya dengan diam-diam agar tidak diketahui orang banyak dan diberi sangsi.
Perbuatan seperti ini banyak terjadi pada kehidupan masa sekarang. Mengapa? Karena orang-orang mulai mengesampingkan nurani, budi pekerti dan nilai menghargai sesama makhluk, bahkan lengah terhadap keberadaan Tuhan. Untuk menutupi segala kesalahan yang telah diperbuat biasanya kemudian mencari celah untuk menutupi aibnya walaupun dengan cara tidak benar. Ungkapan yang menggambarkan perbuatan tersebut adalah golek-golek. Artinya dia mencari cara agar aman. Cara yang digunakan biasanya menyimpang norma, misalnya dengan menyuap kepada pembesar atau pejabat yang berkuasa.
Sikap seperti di atas tercermin pada ungkapan nglancipi singating andaka yang artinya mengadu kepada orang yang berkuasa dengan harapan orang tersebut peduli kepadanya, sehingga aibnya tertutupi. Ungkapan senada yang laim dilakukan orang bersalah untuk berlindung atas kesalahannya adalah kekudhung walulang macan. Ungkapan ini berarti berlindung kepada kekuasaan orang besar dan sangat berpengaruh di wilayahnya, sehingga tidak aka ada orang yang berani mengungkit kesalahannya karena mereka takut pada orang yang dijadikan pelindungnya. Apabila ada yang berani pasti akan mendapat masalah.
Kesempatan seperti di atas biasa dimanfatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mereka berlindung pada ungkapan aji mumpung. Aji mumpung adalah perbuatan yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang gila harta, pangkat dan kekuasaan. Mereka lupa bahwa segala hal yang diperbuat akan membuahkan hasil. Dalam masyarakat Jawa diyakini sebagai karma phala yaitu buah dari perbuatan. Sebaik-baik orang menyimpan bangke akhirnya akan tercium juga. Mereka lengah bahwa Tuhan itu Maha Tahu dan Maha Adil. Hal ini tercermin pada ungkapan becik ketitik ala ketara. Apabila orang tidak dekat dengan Tuhan pastilah dia lupa bahwa perbuatan jelek/ jahat pasti akhirnya akan terkuak, demikian pula perbuatan baik. Dalam Surah Az Zalzalah ayat 7 dan 8 Allah berfirman bahwa orang yang melakukan perbuatan baik walaupun sedikit saja seberat biji sawi nisacaya akan melihatnya. Demikian pula sebaliknya orang yang berbuat jahat walaupun sedikit seberat biji sawi niscaya dia akan melihatnya (Nanadhy, 1994:160). Dari ayat ini dapat dipetik pelajaran yang diyakini orang Jawa sebagai buah perbuatan, dan terbungkus dalam ungkapan becik ketitik ala ketara.
Memetik hikmah dari diungkapan di atas, maka sudah selakyaknya orang harus selalu ingat kepada Tuhan. Agar tidak terjerembab dalam kenistaan maka orang harus pandai. Langkah untuk pandai orang harus mau mangasah mingising budi. Ungkapan ini mengandung makna orang tidak boleh berdiam diri tidak mengembangkan kemampuan otak dan rasa. Agar otak menjadi cerdas, orang harus selalu belajar. Orang yang rajin belajar pasti banyak wawasn dan ilmu yang membuat budi atau rasanya juga terasah. Slogan ini sangat relevan dalam kehidupan sekarang, mengingat hidup di masa ini dituntut mampu menyelaraskan dengan perkembangan jaman. Orang bodoh sama saja terlindas jaman. Dampak hidupnya akan tertinggal oleh kemajuan teknologi dan keilmuan. Kata yang tepat untuk orang seperti itu adalah gaptek atau gagap teknologi. Sikap yang demikian apabila dibiarkan akan membuat diri orang tersebut malu untuk bergaul karena merasa serba teritinggal.
Untuk mengejar kertertinggalan orang harus banyak membaca. Membaca karya yang berupa tulisan ataupun situasi. Perilaku seperti ini memang telah diisyaratkan Allah jauh sebelum peradaban. Ketika itu Muhammad diminta Jibril untuk membaca. Perintah itu diulang sampai tiga kali. Dari perintah Jibril manusia dapat mengambil nilai yang tersirat adalah belajarlah dan terus belajar agar engkau menjadi manusia yang ditinggikan martabatmu oleh Allah. Slogan mangasah mingising budi termasuk slogan yang mengandung nilai-nilai tersebut. Sebagai manusia agar budinya luhur atau terasah harus selalu meningkatkan wawasan dengan cara mangasah agar tetap mingis atau tajam.
Dalam rangka meraih pencerahan jiwa atau batin/budi orang harus berani menyepi, menjauhkan diri dari hiruk pikuk keglamoran dunia. Langkah ini tercermin dalam slogan tuman tumanening sepi. Slogan ini mengisyaratkan nilai luhur kepada manusia agar senang menyepi, menjauhkan diri dari keramaian dunia. Caranya dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Hidup. Slogan ini apabila dicermati lebih dalam, dia menyimpan nilai ajaran pengekangan diri. Orang tidak boleh terlena pada kesenangan dunia, tetapi harus mampu menyeimbangkan antara nafsu lahiriah dan batin. Orang tidak mengejar dunia saja tetapi harus ingat pula pada giliranya akan mati. Sikap demikian secara pelan tetapi pasti akan mengerem perbuatan salah dan semaunya sendiri. Ungkapan serupa dalam bahasa Indonesia: bekerjalah giat seolah akan hidup seribu tahu lagi dan beribadahlah secara khusuk seolah akan segera mati.
Apabila manusia Jawa mampu memahami nilai tersebut pastilah masyarakat akan hidup madani, jauh dari pergolakan dan perselisihan. Meskipun demikian manusia Jawa juga tidak boleh lalai akan kerja keras yang benar agar mampu hidup secara layak. Konsep hidup yang demikian itu tercermin dalam slogan sepi ing pamrih rame ing gawe. Slogan ini apabila dikupas akan membuahkan nilai luhur,bahwa hidup ini harus dijalani dengan sungguh-sungguh dan tangguh. Untuk itu dalam melaksanakan pekerjaan orang tidak boleh berharap akan besarnya hasil yang harus diperoleh. Hasil adalah perkara belakang, karena apabila menjelang kerja sudah berhitung hasil yang menguntungkan pribadi pasti sistem kerjanya akan tidak transparan. Dampaknya akan terjadi upaya apapun dihalalkan, yang mengakibatkan kerugian untuk orang lain. Sikap seperti ini akan menimbulkan permasalahan besar pada tahap berikutnya. Hal yang demikian jika dihitung secara dagang akan membuat lembaga bangkrut.
Untuk menanggulangi sikap arogan seperti itu orang Jawa mengingatkan lewat slogan ngono ya ngono ning aja ngono,yang artinya adalah memanfaatkan situasi atas dasar kemampuan yang dimilikinya. Perhitungan yang sebetulnya akan membuat untung dirinya. Untuk itu penekanan slogan sangat keras sebagai bentuk laranagan yaitu aja ngono. Walaupun kamu mampu tetapi pertimbangkan lagi nilai-nilai kebenaran yang akan terjadi, jangan asal mampu. Pesan ini sangat tepat disosialisasikan kepada orang-orang yang merasa pandai dan merasa berkuasa. Bukan rahasia lagi pejabat-pejabat di negeri ini memanfaatkan aji mumpung. Oleh sebab itu mereka harus paham slogan di atas dan berikut yaitu aja nganggo aji mumpung.
Slogan tersebut mengandung ajaran mulia atau luhur, bahwa orang tidak boleh berbuat atas dasar kesempatan yang dia lihat, atau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Fenomena seperti ini marak terjadi, karena manusia memiliki kodrat ingin enak tanpa repot atau bekerja keras. Tipe orang yang seperti ini akan membalik slogan dari sepi ing pamrih rame ing gawe menjadi rame ing pamrih rame ing gawe, dan akan lebih fatal jika menjadi rame ing pamrih sepi ing gawe. Perilaku seperti ini tidak mustakhil terjadi karena kodrat manusia adalah ingin enak tanpa repot.
Untuk menanggulangi hal tersebut, perlu dilakuakn pembenahan secara mendasar, yaitu merubah perilaku hidupmanusia dengan cara mengajarkan hidup mulia. Salah satu caranya adalah mengajarkan kembali nilai-nilai luhur sesuai dengan budaya yang seharusnya. Orang Jawa adalah orang Jawa yang berperilaku Jawa, atau berpandangan hidup Jawa, bukan yang Barat atau yang lain. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ki hajar Dewantara, orang Jawa harus/boleh belajar tentang kehidupan barat, tetapi tidak harus menjadi orang barat atau berpandangan hidup barat. Sejalan dengan pemikiran ini, sudah saatnya orang Jawa yang hampir tergelincir hidupnya karena arus global, mulai berbenah diri.
Secara bahu membahu anatara masyarakat dengan pemerintah untuk menegakkan kembali jati diri orang Jawa, untuk menjadi Jawa. Jangan sampai muncul ungkapan wong Jawa sing ora Jawa. Maksudnya orang keturunan Jawa, bertempat tinggal di Jawa tetapi tidak berpandangan hidup Jawa. Bak pepatah kacang ninggal lanjarane, orang yang tidak tahu asal usul karena berubah pandangan hidup.
Apabila fenomena seperti ini tidak diharapkan orang Jawa, maka melalui Konggres yang mulia ini, perlu direkomendasikan: segera direkonstruksi nilai-nilai luhur Jawa di setiap lini, terkhusus yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan tradisional Jawa. Segara diinventarisasi, dipilah antara nilai-nilai yang masih relevan yang telah using, disosialisasikan lewat penulisan dan penerbitan dan giliran berikutnya diajarkan kepada generasi muda baik dalam kehidupan sehari-hari ataupun lewat pendidikan formal seperti dijadikan bahan atau materi ajar dalam mata pelajaran bahasa dan budaya Jawa.
Apabila langkah ini dikerjakan secara mantab, insya Allah nilai-nilai luhur Jawa yang terkandung dalam ungkapan tradisional mampu dijadikan fondamen hidup bermasyarakat yaitu masyarakat madani Jawa, walaupun harus dimuali dari nol, pada generasi baru/muda, karena sulit untuk ditanamkan kembali kepada generasi transisi yang telah tercemar kehidupan global.


D.    Penutup
Berdasarkan uraian di atas apabila dicermati dengan saksama, nilai-nilai ungkapan Jawa memiliki daya juang hidup yang tinggi. Maksudnya nilai-nilai yang terkandung, mampu menuntun masyarakat hidup berdampingan secara harmoni, selaras dan seimbang antara kehidupan dunia dan akherat kelak. Dapat pula menyeimbangkan hidup selaras dengan lingkungan atau kondisi yang sedang terjadi. Nilai-nilai yang terkandung juga dapat dijadikan kendali untuk berperilaku baik dalam hubungan manusia dengan sesama manusia, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan Tuhan.
Nilai-nilai tersebut pantas dijadikan fondamen hidup karena, di dalamnya terkandung aspek weru, eling dan ening. Nilai inilah inti pandangan hidup Jawa yang berlandaskan ilmu sangkan paran. Weruh maksudnya tahu tentang jatidiri, bahwa makhluk itu walaupun super tetap di bawah kendali Tuhan. Eling maksudnya manusia tidak boleh menurutkan kehendak, lupa bahwa dirinya kelak akan kembali ke asalnya/jatidiri hidup, dan ening manusia wajib menyempatkan diri untuk khusuk mengingat Tuhannya.
Demikianlah sekilas pandangan tentang nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam ungkapan tradisional Jawa yang pantas untuk diangkat kembali dijadikan dasar hidup bermasyarakat untuk membentuk masyarakat madani. Langkah ini merupakan salah satu upaya pemertahanan budaya yang mengarah pada langkah masuh malaning bumi, memayu hayuning bawana (Nurhayati, 2011:123).



E.   Daftar Buku Bacaan/Pustaka
♦ Koentjaraningrat.1985. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
♦ Nanadhy.1994.Terjemahan Al Quran Lafzhiyah penuntun bagi yang Belajar. Jakarta: Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam “ Al Hikmah”
♦ Nurhayati, Endang. 2011. Model Pemertahanan Bahasa Jawa Propinsi DIY.Brunei: Makalah.
♦ Padmosoekotjo.1958. Ngengrengan Kasusastran Djawa I. Jogjakarta:
    Hien Hoo Sing.
♦ Padmosoekotjo.1960. Ngengrengan Kasusastran Djawa II. Jogjakarta:
    Hien Hoo Sing.
♦ Sarjana, dan Kuswa Endah.2010. Filsafat Jawa.Yogyakarta: Kanwa
    Publiser.
♦ Sasmina, Haji Abd. Rahman. 2011. Budaya Dilestari Bahasa Diperkasa
    Melalui Ungkapan Puisi Melayu. Brunei: Makalah.
♦ Spencer, Helen, and Oatey.tt. Culturally Speaking: Managing Rapport
    throught Talk across Culture.